ABSTRAK
Sistem ekonomi
muncul karena adanya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga
terbentuklah aktifitas-aktifitas ekonomi, diantaranya adalah produksi,
distribusi dan konsumsi. Konsumsi merupakan aktifitas yang penting bahkan bisa
dikatakan sangat penting dalam peranannya. Segala aktifitas tersebut khususnya
perilaku konsumen tidak bisa lepas dari aturan dan tuntutan yang telah
ditetapkan dalam ajaran Islam. Dalam Islam perilaku konsumsi tidak dibatasi
pada kebutuhan hidupnya dan kesenangan-kesenangan yang menekankan pada aspek
materialnya saja, akan tetapi harus ada keseimbangan antara aspek material dan
aspek spiritual. Aktifitas konsumsi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, bahwa
norma-norma dasar yang menjadi landasan dalam perilaku konsumsi termasuk
menghindari sifat kikir atau bakhil, tidak boleh melakukan kemubaziran dan
harus menanamkan sifat kasederhanaan. Yang menjadi masalah disini bagaimana
dengan implementasi dari norma-norma yang dikemukakan oleh Yūsuf al-Qaradāwī.
Di dalam
analisis data, digunakan cara berpikir induksi yakni kerangka dari pemikiran
Yūsuf al-Qaradāwī secara parsial dalam hal perilaku konsumsi sehingga bisa
ditarik kesimpulan secara umum dalam pemikirannya tentang perilaku konsumsi
tersebut sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini normatif.
Dan
implementasi dalam pemikirannya yang tidak kikir atau bakhil yaitu
memberikan infak baik wajib maupun sunnah, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk keluarganya, untuk masyarakat maupun untuk fi sabilillah (di jalan
Allah). Tidak mubazir berarti tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang
tanpa ada kemaslahatan dan untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk dalam
membelanjakan hartanya dengan berlebih-lebihan yaitu melebihi batas dalam hal
yang halal. Dan yang terakhir adalah kesederhanaan yang harus ditanamkan dalam
setiap kehidupan keseharian manusia, yaitu bersikap tengah-tengah antara sikap
bakhil, sikap mubazir serta sikap berlebih-lebihan termasuk juga sikap
kemewahan. Implementasi inilah yang harus ada pada setiap orang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harta merupakan parameter sumber-sumber alam yang
merupakan nikmat Allah, alat-alat perlengkapan dan kesenangan. Harta bukanlah
sesuatu yang buruk dan bukan juga sesuatu yang menjijikkan, tetapi harta adalah
sesuatu yang baik dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia.
Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia
memerlukan adanya manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam
masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama
lain, disadari atau tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.[1]
Sistem ekonomi muncul karena adanya upaya manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemenuhan hidup yang sangat bervariasi
melahirkan berbagai macam sistem kehidupan termasuk sistem ekonomi. Sistem
ekonomi diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia pada berbagai jenis
barang terutama barang kebutuhan pokok.
Maka menjadi semakin jelas ruang lingkup dari bidang
garapan ekonomi, mengingat segala hal yang terdapat di dalamnya adalah
merupakan kajian bagi salah satu sektor perilaku manusia yang berhubungan
dengan aspek penting dalam ekonomi yaitu
produksi, distribusi, dan konsumsi, dan serupa dengan apa yang
disampaikan oleh seorang ekonomi neo klasik Lord Robin, bahwa ekonomi merupakan
kajian tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan
alat-alat pemuas yang mengandung pilihan di dalam penggunaannya.[2] Maka pengertian yang muncul
kemudian adalah kegitan itu tidak hanya selalu mengacu pada aspek material yang
kemudian disebut-sebut sebagai obyek kegiatan ekonomi belaka, namun lebih dari
itu bahwa pengertian kegitan ekonomi juga mencakup aspek moral, yaitu aspek
perilaku manusia yang tidak hanya dibatasi oleh pengertian kekayaan material saja,
kendati pada pengertian umum ekonomi itu menyangkut akan barang dan jasa yang
bersifat material.
Hal ini mengandung isyarat bahwa manusia yang ada pada
dasarnya merupakan decision maker
dalam banyak hal termasuk setiap perilakunya akan dipengaruhi oleh nilai-nilai
dan emosionalnya,[3]
tarik-menarik antara nilai dan emosional inilah yang mewarnai perilaku manusia
dalam mengambil keputusan pada setiap aktifitas hidupnya,[4]
bagaimana bangsa-bangsa bertindak untuk menjaga perdamaian, bagaimana individu
berhubungan dengan individu lain dan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya, kesemuanya merupakan nilai yang meliputi persoalan moralitas, yaitu
persoalan baik dan buruk.
Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan syari’at
Islam secara keseluruhan (kaffah).
Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah mahdah
saja yang menyangkut hubungan vertikal antara manusia dan pencipta-Nya, tapi
juga menyangkut semua bentuk aktifitas yang berimplikasi sosial,[5] yang aktifitas tersebut
disertai berbagi aturan dan tuntutan sebagaimana yang dituangkan dalam Fiqh
Muamalat, agar dalam aktifitas tersebut tidak semata-mata mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan etika dan moral, tanpa sedikitpun
melibatkan suansa reliji dan sosial.
Konsumsi merupakan salah satu penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya atau barang-barang yang ada atau anugrah-anugrah yang
Allah berikan kepada manusia untuk digunakan. Dalam melakukan konsumsi manusia
diberi kebebasan, namun dalam kebebasanya itu harus berpijak pada aturan-aturan
konsumsi (perilaku-perilaku konsumsi) yang telah diatur dalam ajaran Islam.
Dalam ekonomi konvensional, perilaku ekonomi
(konsumsi) diartikan sebagai teori yang mempertimbangkan pemaksimalan daya
guna, dan yang memaksimalkan adalah manusia ekonomi (homo economicus), tujuan tunggalnya adalah untuk mendapatkan
derajat tertinggi dari perolehan ekonomi, yang menjadi stimulus dalam hal ini
adalah perasaan akan uang.[6] Etika filosofi yang
tercermin, berhubungan dengan “keberhasilan ekonomi” diartikan secara umum bahwa
keberhasilan dalam mendapatkan uang adalah nilai tambah dari kebaikan ekonomi.[7]
Pendekatan ini memandang bahwa nilai
moral tindakan pribadi dapat ditentukan hanya oleh akibat dan
konsekuensi dari tindakan tersebut, yaitu suatu tindakan yang dinilai etis jika
tindakan tersebut menghasilkan manfaat atau dapat menguntungkan bagi sebagian
besar orang.
Dari asumsi inilah penyusun menganggap bahwa persoalan
kritis yang kemudian muncul dalam ekonomi mengenai teori konsumsi, misalnya
dalam teori utilitarianisme, yang
dalam teori ini terkait dengan penentuan terhadap nilai tindakan etis yang
dilakukan dengan cara mengukur sejauh mana manfaat atau utilitas yang akan
diperoleh serta sejauh mana tindakan itu dapat dilakukan.
Dalam kesempatan ini, adalah Yūsuf al-Qaradāwī seorang
ulama mujaddid dan mujtahid di penghujung abad ke-20 ini, selalu memberikan
sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan. Ia selalu mencoba “membumikan”
ajaran Islam dan menggaris bawahi aspek maslahah dalam penentuan hukum Islam.
Dalam kapasitasnya sebagai ulama tafsir-hadis, ia juga mengetengahkan
pemikirannya tentang ekonomi Islam yang mencakup semua aktifitas ekonomi.
Adapun pemikirannya dalam bidang konsumsi, bahwa seorang konsumen dalam
berkonsumsi hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, jadi
konsumen tahu kapan ia harus membelanjakan atau memanfaatkan hasil produksi.
Perilaku-perilaku tersebut terikat oleh norma dan etika, meskipun Allah telah
memberikan kebebasan sehingga konsumen tidak bebas mutlak dalam membelanjakan
hartanya.
Dalam hal konsumi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, Islam
menggariskan bahwa membelanjakan harta tidak boleh melampaui batas yang
diperlukan, begitu pula dengan sebaliknya membelanjakan harta yang terlalu hemat bukan karena tidak
mampu tapi karena bakhil. Islam mengajarkan agar para konsumen bersikap
sederhana.[8] Mengenai konsumsi, Yūsuf
al-Qaradāwī hanya mengemukakan tiga konsep yang dalam setiap konsepnya
mengandung arti lebih dari satu. Untuk itu, arti apakah yang sebenarnya
terkandung dalam setiap konsepnyaa. Sebab itulah penyusun memilih Yūsuf
al-Qaradāwī untuk dikaji pemikirannya,
khususnya dalam perilaku konsumsi.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan pada paparan di atas maka dapat ditarik
pokok masalah, yaitu:
- Bagaimanakah konsep pengaturan perilaku konsumsi menurut pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī?
- Bagaimana implementasi dari konsep pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menggambarkan pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang
pengaturan perilaku konsumsi.
2.
Memberikan penjelasan tentang implementasi dari konsep
pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī.
Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain:
- Penelitian ini akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kajian pemikiran ekonomi Islam.
- Kajian ini akan bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik dengan kajian ekonomi Islam, khususnya dalam melihat perkembangan pemikiran intelektual muslim tentang konsumsi.
D. Telaah Pustaka
Penelitian mengenai pengaturan konsumsi secara khusus
jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabklan oleh anggapan bahwa konsep
konsumsi hanyalah suatu kegiatan pemanfaatan barang-barang hasil produksi dan
kecenderungan hanya sebatas materialistik belaka yaitu sebagai “pelampiasan”
pemenuhan kebutuhan hidup manusia semata. Selain dari pada itu, kecenderungan
yang lain adalah konsumsi hanya dianggap sebagai sebagian kecil dari dua
substansi pemanfaatan kekayaan lainnya yaitu produksi dan distribusi. Sehingga dari beberapa
referensi yang membahas tentang sistem ekonomi Islam, konsumsi dan segala
pengaturannya hanyalah dipaparkan dalam bagian dari bab saja.
Monzer Kahf[9]
misalnya, di dalam bukunya “Ekonomi Islam”,
memasukkan pengaturan konsumsi dan etikanya dalam Islam kedalam bab teori
konsumsi. Pembahasannya lebih ditekankan pada penanggulangan isu-isu pokok
mengenai teori perilaku konsumen dan konsep-konsep barang-barang konsumen. Ia
menjelaskan bahwa unsur-unsur pokok dari rasionalisme perilaku konsumen
meliputi konsep keberhasilan, skala waktu perilaku konsumen, dan konsep harta.
Di dalam konsep harta inilah dipaparkan etika konsumsi dalam Islam.
Demikian juga halnya dengan Abdul Manan,[10]
di dalam bukunya “Teori dan Praktek
Ekonomi Islam”, ia menganalisis bahwasanya perintah Islam mengenai konsumsi
dikendalikan oleh lima prinsip dasar yaitu prinsip keadilan, prinsip
kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip
moralitas. Kemudian ia melanjutkan dengan menggolongkan kebutuhan-kebutuhan
manusia dengan urutan prioritas sesuai dengan tuntutan Islam.
Dalam pernyataan yang tegas, Sunarto[11]
menekankan bahwa pengaturan konsumsi dan hubungannya dengan produk konsumen
melibatkan masalah kepercayaan yang tinggi, maka sangatlah penting bahwa
perilaku tersebut harus dilingkupi dengan etika. Pembahasan ini kemudian ia
jelaskan secara detail di dalam disiplin ilmu perilaku konsumen (consumer behavior) baik secara teoritis
maupun aplikatif.
Dalam sebuah tesis, karya Rahman Qadir yang menelaah
pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang zakat profesi,[12] juga empat skripsi yang
menelaah dan mengalisis pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī, yaitu karya Rahmawati yang
berjudul Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Ekonomi Islam, tahun
2000[13]
penelitian ini menitik beratkan pada etika yang di dalamnya meliputi nilai
moral, akhlak dan perannya dalam kegiatan ekonomi Islam. Skripsi karya Sartono
yang berjudul Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu.[14]
Penelitian ini menfokuskan pada metode penggalian dan penetapan hukum zakat
madu yang dilakukan oleh Yūsuf al-Qaradāwī Skripsi karya Achmad Subhan tahun 2002
yang berjudul Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi
Umat.[15]
Skripsi ini mengkaji tentang konsep pengelolaan zakat dan relevansinya dalam
konteks ke-Indonesia-an dan skripsi karya Bahri Asnawi yang berjudul
Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Atas pemikiran Yūsuf
al-Qaradāwī tahun 2003.[16]
Skripsi ini membahas tentang kemiskinan dan solusi pengentasan kemiskisan yang
dikonsep oleh Yūsuf al-Qaradāwī.
Uraian di atas menunjukan bahwa skripsi berjudul
”Pengaturan Konsumsi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Atas Pemikiran Yūsuf
al-Qaradāwī) ini secara khusus belum pernah ada yang membahas dalam suatu karya
ilmiah.
E. Kerangka Teoretik
Al-Qur’an pada dasarnya memberikan otonomi yang luas
bentuk free will dan free choice kepada manusia untuk
menentukan nasib dan corak hari depannya, tetapi dengan tekanan yang kuat agar
ia mematuhi hukum-hukum moral tentang masalah baik dan buruk demi kelestarian
eksistensinya di dunia ini.
Manusia beriman haruslah memberikan arah moral bagi
setiap perubahan sosial. Manusia beriman sebagai konsekuensi logisnya adalah
manusia yang berdiri paling depan dalam memberikan alternatif moral bagi suatu
perubahan. Setelah ia lebih dahulu memelopori kehidupan bermoral itu.
Keberadaan manusia bertauhid ditentukan oleh intensitas amal kebaikannya terhadap
umat manusia secara keseluruhan yang terwujud dalam bentuk keadilan, persamaan,
persaudaraan dan kedamaian dalam masyarakat.[17]
Begitu pula dalam hal konsumsi ketika seorang muslim
sedang menkonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rizki, ia merasa telah
memnuhi perintah Allah dan yakin bahwa semua yang dikonsumsi asalnya dari Allah
dan kesudahannya berakhir kepada Allah. Meskipun Allah telah memberikan
kebebasan, manusia harus berlaku adil dan seimbang dalam berkonsumsi yang
semuanya itu harus di pertanggungjawabkan kepada Allah.
Mengenai pentingnya pemanfaatan kekayaan, Islam
memberi banyak penekanan pada upaya pengaturan dan penggunaan kekayaan
tersebut. Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara pengeluaran belanja yang
bersifat spiritual maupun duniawi, berbeda dengan agama lain, ada
perbuatan-perbutan yang dianggap sebagai perbuatan religius atau spiritual,
sementara perbuatan lainnya non religius atau keduniawian. Islam tidak membuat
perbedaan seperti itu antara jenis keperluan yang satu dengan yang lainnya,
karena sebagaimana dipahami kepatuhan dan ketaatan kepada Allah-lah kaum
muslimin menafkahkan harta mereka misalnya: kepada para janda, anak-anak yatim
dan orang-orang miskin sama halnya seperti kerelaan mereka berbelanja untuk
menafkahkan dirinya sendiri, anak-anak, orang tua dan kaum kerabat.
Pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting karena
terdapat perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam, dalam hal konsumsi
terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh
seseorang.
F. Metode Penelitian
Suatu hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian
adalah metodologinya, skripsi sebagai karya ilmiah tidak dapat dilepaskan dari
metodologi ilmiah. Metode yang digunakan adalah:
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang
menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.[18]
2.
Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik yaitu
pemaparan yang diawali dengan menggambarkan konsep yang dikemukakan oleh Yūsuf
al-Qaradāwī tentang pengaturan konsumsi yang kemudian memberikan pembahasan dan
analisa terhadap pemikirannya.
3.
Pengumpulan Data
Pengumpulan datanya dengan
menelusuri buku-buku dan tulisan-tulisan dalam bentuk lain yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Data yang penyusun gunakan dalam kajian ini terdiri
dari sumber primer dan sekunder. Adapun data dari sumber primer tersebut antara
lain: Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq fī
al-Islām.[19]
Sedangkan sumber bantuan tambahan (sekunder) adalah al-Fatwā Baina al-Indibat wa at-Tasayyub, Fiqh az-Zakat, dan
kajian-kajian yang membantu tentang konsumsi.
4.
Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis dengan cara berpikir
induksi, yaitu penyusun mangawali dari pemikiran tokoh yang sifatnya khusus
(perilaku konsumsi), kemudian dari yang khusus tersebut ditarik kesimpulan
secara umum.
5.
Pendekatan Masalah
Karena penyusun membahas pemikiran tokoh dengan cara
mengumpulkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsepnya dan diorientasikan pada
nilai-nilai yang ada dalam obyek pembahasan, maka penyusun menggunakan
pendekatan normatif.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan
pokok-pokok pembahasan secara sistematik yang berisi pendahuluan, pembahasan,
dan penutup yang terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah diadakannya penelitian, pokok masalah yang menjadi dasar
dan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka untuk
menelaah buku-buku yang berkaitan dengan topik kajian yang telah dilakukan
orang lain yang menjadi obyek penelitian, kerangka teoretik yang menjelaskan
teori dan dijadikan sebagai landasan pembahasan, metode penelitian yang
menerangkan metode-metode yang digunakan, dan sistematika pembahasan yang mengatur
urut-urutan pembahasan. Bab ini diuraikan sebagai gambaran mendasar yang
menentukan isi penelitian.
Bab kedua membahas secara rinci gambaran umum tentang
konsumsi dengan sub-sub: konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dan
perilaku konsumsi dalam Islam dan prioritas dalam konsumsi. Pembahasan ini
sangat penting karena untuk memberikan gambaran awal mengenai konsep konsumsi.
Bab ketiga menjelaskan dan memaparkan pemikiran Yūsuf
al-Qaradāwī yang meliputi: kehidupan dan aktifitas ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī serta
pemikirannya tentang konsumsi. Pada bab ini difokuskan pada pemikiran Yūsuf
al-Qaradāwī sebagai obyek kajian penelitian, dan ini berhubungan erat dengan
bab-bab sebelumnya serta merupakan jawaban dari pokok masalah yang pertama.
Bab keempat, setelah diuraikan pada bab-bab sebelumnya
mengenai gambaran pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang konsumsi yang menjadi
obyek penelitian, maka pada bab ini dilakukan analisis terhadap konsep
pemikiran dan implementasinya sebagai jawaban atas pokok masalah yang kedua.
Bab kelima
merupakan penutup yang menjelaskan kesimpulan dari pembahasan dan saran-saran,
kemudian ditutup dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran penting lainnya.
BAB
II
GAMBARAN UMUM TENTANG
KONSUMSI
A. Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Konvensional
Penjelasan tentang perilaku konsumsi berkaitan dengan
hukum permintaan yang menyebutkan bahwa jika harga suatu barang naik maka cateris paribus jumlah yang diminta
konsumen terhadap barang tersebut akan turun, demikian juga sebaliknya bila harga
tersebut turun maka jumlah yang diminta konsumen tersebut akan naik.[20]
Teori perilaku konsumsi yang digunakan dalam ekonomi
modern adalah teori utility, yang
membahas tentang kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seseorang dari
mengkonsumsikan barang-barang.[21]
Pada dasarnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku
konsumen, yaitu pendekatan marginal
utility dan pendekatan indifference.
Pendekatan marginal utility bertitik tolak pada anggapan yang berarti bahwa kepuasan
setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain. Dengan adanya
teori pendekatan ini konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan total yang
maksimum. Sedangkan pendekatan indifference
ini, pendekatan yang memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen
bisa diukur. Karena barang-barang yang dikonsumsi mempunyai dan menghasilkan
tingkat kepuasan yang sama. Anggapan yang diperlukan dalam pendekatan indifference ini adalah bahwa tingkat
kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa
menyatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah.[22]
Perilaku konsumsi di atas berupaya untuk mencapai
kepuasan maksimum yang hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran keuangan yang
dimilikinya. Dengan kata lain konsumen dapat mengkonsumsi apa saja sepanjang
anggarannya memadai untuk itu, serta konsumen cenderung menghabiskan
anggarannya demi mengejar kepuasan tertinggi yang bisa dicapainya demi mengejar
kepuasan maksimum.
Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat
sederhana karena kebutuhannya juga sangat sederhana. Tetapi dalam peradaban
modern telah menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kebutuhan.
Peradaban materialistik dunia barat kelihatanya memperoleh kesenangan khusus
dengan membuat bermacam-macam dan banyak kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan
oleh manusia. Sehingga kesejahteraan seseorang pun nyaris diukur dengan
bermacam-macam sifat kebutuhan.
B. Perilaku Konsumsi dalam Islam
Pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya
para ahli ekonomi yang mepertunjukan kemampuannya untuk memahami dan
menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi. Para
ahli ekonomi, dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum,
nilai-nilai dan distribusi atau hampir setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi adalah
terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam
tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat
aturan-aturan mengenai segenap perilaku manusia. Begitu pula dalam masalah
konsumsi, manusia diatur supaya dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang
membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya.
Konsumsi merupakan salah satu penggunaan dan
pemanfataan sumber daya atau barang-barang yang ada atau yang telah tersedia di
alam dunia ini. Penggunaan dan pemanfaatan sumber daya dalam Islam diatur
supaya digunakan secara baik.
Dalam al-Qur’an petunjuk mengenai konsumsi
dideskripsikan secara jelas mengenai penggunaan barang-barang yang baik dan
bermanfaat serta melarang adanya pemborosan dan pengeluaran terhadap hal-hal
yang tidak penting, sebagaimana ayat yang berbunyi :
يا
أيها الذين امنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم.[24]
فكلوا مما رزقكم الله
حلالا طيبا.[25]
Dengan kata lain al-Qur’an
menetapkan satu kata terhadap prinsip-prinsip umum yang mengatur penggunaan
dalam suatu masyarakat muslim untuk memanfaatkan (konsumsi) kekayaan mereka
pada hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, [26] dan sebaliknya, al-Qur’an
telah menetapkan ketentuan atau aturan-aturan tegas tentang apakah barang itu
sesuai atau dibolehkan bagi mereka, karena keleluasaan untuk menentukan tingkat
kesucian atas penggunaan barang-barang, khususnya makanan sepenuhnya diserahkan
kepada kaum muslimin itu sendiri.
Menurut Mannan bahwa perintah Islam
mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima
prinsip, yaitu: prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan,
prinsip kemurahan hati dan prinsip moralitas.[27]
- Prinsip keadilan
Firman Allah:
Prinsip ini mengandung arti ganda, baik mengenai
mencari rizki secara halal dan yang dilarang menurut hukum. Barang-barang yang
baik adalah segala sesuatu yang bersifat menyenangkan, manis, baik, enak
dipandang mata, harum dan lezat.[29]
Hal ini diperkuat oleh ayat :
فكلوا مما
رزقكم الله حلالا طيبا واشكروا نعمة الله إن كنتم إياه تعبدون .[30]
- Prinsip kebersihan
Islam mengajarkan barang yang dikonsumsikan harus
bersih dan suci, sesuai dengan firman Allah SWT:
يأمرهم
بالمعروف وينهاهم عن المنكر و يحل لهم الطيبات و يحرم عليهم الخبائث ويضع عنهم
إصرهم والأغلال التي كانت عليهم . [31]
Hal ini diperkuat oleh ayat :
كلوا
مما رزقكم الله ولا تتبعوا خطوات الشيطان . إنه لكم عدو
مبين[32]
Kebebasan yang diberikan Islam dalam pemanfaatan atau
pembelanjaan harta untuk membeli barang-barang yang baik dan yang halal demi
kepentingan hidup manusia agar tidak melanggar batas-batas kesucian yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian tidak semua yang diperkenankan boleh
dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Jadi semua yang diperbolehkan makan
dan minum itu adalah yang bersih dan bermanfaat.
- Prinsip kesederhanaan
Islam menetapkan satu jalan tengah antara dua hidup
yang ekstrim yaitu antara paham materialisme dan kezuhudan. Di satu sisi
dilarang membelanjakan harta secara berlebih-lebihan semata-mata menuruti hawa
nafsu, di sisi lain juga dilarang berbuat menjauhkan diri dari kesenangan
menikmati barang yang baik dan halal di dalam kehidupan. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT. :
Menurut Muhammad, arti penting dari ayat ini adalah
kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh,
begitu pula bila perut diisi secara berlebihan tentunya akan berpengaruh pada
pencernaan dalam perutnya.[35]
- Prinsip kemurahan hati
Dalam Islam diperintahkan agar dalam mengkonsumsi
suatu barang yang halal, yang telah disediakan Allah karena kemurahan hati-Nya,
selama dimaksudkan untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang baik dengan
tujuan menunaikan perintah-Nya dengan keimanan yang kuat dalam tuntunannya.
Maka dalam hal ini terdapat peralihan berangsur yang sifatnya elastis dan
memperhitungkan barang yang dikonsumsinya. Terdapat pengecualian terhadap
barang yang merusak kesejahteraan diri maupun kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana firman Allah
SWT:
إنما حرم
عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما اهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا
إثم عليه إن الله غفور رحيم .[36]
- Prinsip moralitas
Prinsip yang terakhir ini adalah prinsip penting yang
menjelaskan tentang kondisi moralitas bagi seorang konsumen muslim dalam
melakukan aktifitas ekonomi, konsumsi terhadap makanan bertujuan untuk keuntungan
langsung tetapi juga bagaimana tujuan akhirnya, yakni untuk meningkatkan
nilai-nilai moral dan spiritual. Hal ini penting karena Islam menghendaki
perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang bahagia.
Prinsip ini didasarkan pada kaidah al-Qur’an, bahwa
seseorang akan merasakan sedikit kenikmatan atau keuntungan yang diperoleh dari
minum-minuman keras dan makan-makanan yang terlarang lainnya, disebabkan hal
tersebut dilarang dan karena adanya bahaya yang mungkin timbul lebih besar dari
pada kenikmatan atau keuntungan yang mungkin diperolehnya.
C. Prioritas dalam Konsumsi
Islam mengajarkan bahwa manusia selama hidupnya akan
mengalami tahapan-tahapan dalam kehidupan. Secara umum tahapan kehidupan dapat
dikelompokkan menjadi dua tahapan yaitu dunia dan akherat. Oleh karena itu
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mencapai kebahagiaan di dunia dan
di akherat. Hal ini berarti pada saat seseorang melakukan konsumsi harus
memperhatikan ajaran-ajaran Islam yang memiliki nilai dunia dan akherat.
Meskipun barang-barang yang dikonsumsikan barang yang
halal dan bersih, akan tetapi dalam mengkonsumsi tidak boleh melakukan
permintaan terhadap semua barang yang ada untuk dikonsumsi, sehingga
menyebabkan pendapatannya habis, dengan kata lain pengeluaran tidak seimbang
dengan pendapatannya. Dan harus diingat bahwa manusia mempunyai kebutuhan
jangka pendek (dunia) dan kebutuhan jangka panjang (akherat) yang sangat
penting dan harus dipenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat digolongkan pada
tiga golongan yaitu keperluan, yang meliputi semua hal yang diperlukan untuk
memenuhi segala kebutuhan yang harus dipenuhi, kesenangan sebagai komoditi yang
penggunaannya menambah efisiensi pekerja, akan tetapi tidak seimbang dengan
biaya komoditi tersebut, dan kemewahan yang
menunjukan kepada komoditi serta jasa yang penggunaannya tidak menambah
efisiensi seseorang bahkan mungkin bisa menguranginya.
Dalam ekonomi konvensional, permintaan konsumen
cenderung kearah kebutuhan duniawi yang dapat menyebabkan kebutuhan akherat
yang lebih kecil dari yang seharusnya dapat dilakukan atau mungkin tidak dapat
terpenuhi sama sekali. Seperti penjelasan yang berada pada halaman 17, bahwa
konsumen dapat mengkonsumsi apa saja sepanjang anggarannya memadai untuk itu,
dan cenderung untuk menghabiskan anggarannya demi mengejar kepuasan maksimum.
Akan tetapi dalam pandangan Islam hal tersebut sangat tidak efisien. Oleh
karena itu konsumen harus benar-benar mengetahui akan adanya pilihan-pilihan
kebutuhan yang harus dipilih, agar kebutuhan-kebutuhan yang lebih penting dapat
terpenuhi lebih dahulu.
Berkaitan dengan masalah ekonomi pendapat seseorang
dialokasikan pada beberapa bentuk pengeluaran yaitu konsumsi, tabungan dan
sebagian dari pendapatan tersebut dikurangkan untuk infak dan sadaqah, maka
dengan demikian besar pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia harus seimbang.[37]
Dalam pandangan al-Qur’an, pembelanjaan atau
pengeluaran konsumsi biasanya menggunakan kata dengan istilah “infak”.
Pengeluaran infak diharapkan akan mendatanagkan maslahah bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain atau masyarakat. Dalam pandangan pemikiran kata infak
oleh para ahli tafsir diartikan secara berbeda antara arti satu dengan arti
yang lain. Ada
yang mengartikan bahwa infak dalam al-Qur’an adalah peneluaran yang berupa
zakat yang wajib, sadaqah sunnah maupun nafkah atas keluarganya. Dan sebagian
yang lain mengartikan bahwa infak adalah mencakup pengeluaran wajib maupun
sunnah.
Dengan kata lain kata infak mencakup nafkah atau konsumsi
untuk diri sendiri dan keluarga, nafkah (zakat atau sadaqah) untuk kemakmuran
masyarakat nafkah untuk perjuangan di jalan Allah.[38]
- Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga
Konsumsi untuk diri sendiri meliputi
kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan kebutuhan fungsional yang
terpenuhi setelah memenuhi kebutuhan pokok, fungsional ini tidak bersifat
primer, tetapi merupakan kasenanagan dan kelengkapan.
Dalam memenuhi kebutuhan pokok para konsumen tidak
diperbolehkan mengkonsumsi semua barang yang ada karena pemenuhan kebutuhan
dalam ajaran Islam harus sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan seimbang
antara pendapatan dengan pengeluaran. Sehingga tidak ada kata berlebih-lebihan
dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut.
Begitu juga para konsumen tidak dibenarkan untuk
melakukan sikap terlalu menghemat baik untuk kepentingan diri maupun keluarga,
padahal sebenarnya mampu untuk mengeluarkan nafkah tersebut sehingga kebutuhan
pokoknya kurang terpenuhi. Hal ini merupakan sifat kikir atau bakhil yang harus
dihindari, sebagaimana sabda Nabi SAW.
- Tabungan
Masa depan bagi manusia merupakan sesuatu yang belum
tentu, oleh karena itu manusia harus mempersiapkan masa depannya. Dalam hal ini
yaitu manusia harus memenuhi kebutuhan jangka pendek (dunia) dan jangka panjang
(akherat). Dalam ekonomi, penyiapan untuk masa depan bagi manusia dapat
dilakukan dengan melalui tabungan atau menabung.
Menabung merupakan aktifitas menyimpan sebagian
pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan
mendadak untuk masa yang akan datang.
Dalam hal menabung atau menyimpan harta ada tiga
alternatif yang dapat dilakukan, yaitu:[40]
a.
Memegang kekayaanya dalam bentuk uang kas.
Pola pertama ini sangat dilarang dalam Islam, karena
harta yang dipegangnya akan habis dimakan zakat dan harta tersebut tidak
produktif yang mengakibatkan terganggunya siklus ekonomi.
b.
Memegang tabungan dalam bentuk aset tanpa berproduksi.
Pola kedua ini boleh dilakukan, dengan catatan
mengikuti cara-cara yang dianjurkan dan dibolehkan oleh ajaran Islam. Contoh
pola ini adalah deposito bank syari’ah, perhiasan atau dalam bentuk rumah.
c.
Menginvestasikan ke proyek atau usaha yang
menguntungkan dan tidak dilarang dalam ajaran Islam.
Pola ketiga ini adalah pola yang sangat dianjurkan
karena pola ini akan sangat membantu aliran uang secara baik dan menyebabkan
kondisi kesehatan ekonomi.
- Konsumsi untuk masyarakat (sebagai tanggung jawab sosial)
Dalam ajaran Islam konsumsi yang dimaksudkan untuk
masyarakat atau sebagai tanggung jawab sosial adalah kewajiban untuk
mengeluarkan sadaqah dan atau zakat. Karena hal ini merupakan pelaksanaan dalam
menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi.
Zakat merupakan suatu input bagi upaya investasi yang
dilakukan oleh umat Islam. Dalam pengertian ini zakat dapat diwujudkan dalam
bentuk uang atau sebagai modal sehingga arus perekonomian tidak tersumbat. Oleh
karena itu dalam Islam penumpukan terhadap harta atau harta-harta tidak diproduksikan
sangat dilarang, sebab dapat menghambat bahkan bisa menutup arus peredaran, dan
juga akan mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat menyimpang dari ajaran
Islam, seperti: tamak, rakus, tidak zakat, tidak sadaqah, dan sejenisnya.
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ
TENTANG KONSUMSI
A. Biografi Yūsuf al-Qaradāwī
1. Kelahiran
dan Pendidikan Yūsuf al-Qaradāwī
Nama lengkap Yūsuf al-Qaradāwī adalah Muhammad Yūsuf
al- Qaradāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di sebuah desa kecil di
Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta. Ia berasal dari keluarga yang taat
menjalankan ajaran agama Islam. Ketika usia dua tahun, ayahnya meninggal dunia
yang kemudian diasuh oleh pamannya yang keluarganya pun taat menjalankan ajaran
Islam, ia diasuh sebagaimana layaknya terhadap anak kandungnya sendiri.
Sehingga Yūsuf al-Qaradāwī menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri, maka
tidak heran kalau Yūsuf al-Qaradāwī menjadi seorang yang kuat beragama.[41]
Kecerdasan Yūsuf al-Qaradāwī sudah mulai tampak sejak
usianya terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia dididik menghafalkan al-Qur’an
secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh sudah hafal al-Qur’an dengan fasih. Karena
kemahirannya dalam bidang al-Qur’an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil
oleh orang-orang dengan sebutan Syekh Qaradāwī. Dan dengan kemahirannya serta
suaranya yang merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah
(salat yang mengeraskan bacaannya).[42]
Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qaradāwī telah lulus dari
Ma’had Tanta, selama empat tahun. Kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan
dalam waktu lima
tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas
Al-Azhar Cairo, beliau mengambil
Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan
predikat terbaik.
Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qaradāwī masuk ke Ma’had
al-Buhus ad-Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi
di bidang bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat
pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian
melanjutkan studinya ke lembaga tinggi riset dan penelitian
masalah-masalah Islam dan perkembangannya, selama tiga tahun. Dan pada saat
yang sama ia mengikuti kuliah pada program pasca sarjana (Dirāsāt al-'Ūlā)
di Universitas yang sama dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis, berhasil
diselesaikan pada tahun 1960. Setelah itu Yūsuf al-Qaradāwī melanjutkan program doktor yang selesai dalam
dua tahun, gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi
“Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian
disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas
persoalan zakat dengan nuansa modern.
Yūsuf al-Qaradāwī terlambat dalam meraih gelar doktor
dari yang diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat
kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar, di sana Yūsuf al-Qaradāwī sempat
mendirikan fakultas Syari’ah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama Yūsuf al-Qaradāwī mendirikan Pusat
Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi.
Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qaradāwī ditahan oleh
penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ikhwanul Muslimin.[43]
Setelah keluar dari tahanan, beliau hijrah ke Daha, Qatar
yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qaradāwī pernah mengenyam pendidikan penjara sejak dari
mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia masuk bui tahun 1949, saat umurnya
masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun.
Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir.
Bulan Oktober Yūsuf al- Qaradāwī
kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.[44]
2. Aktifitas Ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī
Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang tokoh umat Islam yang sangat
menonjol di zaman ini, ia pernah berprofesi sebagai penceramah dan pengajar di
berbagai masjid. Selain itu al-Qaradāwī
menjadi pengawas pada Akademi Para Imam, lembaga yang berada di bawah
Kementerian Wakaf di Mesir. Setelah itu al-Qaradāwī pindak ke urusan bagian Administrasi Umum untuk
Masalah-masalah Budaya Islam di Al-Azhar. Di tempat ini beliau bertugas untuk
mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang menyangkut teknis pada
bidang dakwah.[45]
Dalam bidang dakwah, Yūsuf al-Qaradāwī aktif manyampaikan
pesan-pesan keagamaan mulai program khusus di radio dan televisi Qatar, antara
lain melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang keagamaan.
Yūsuf al-Qaradāwī mulai aktif dakwahnya sejak masa remajanya,
yaitu sejak masih duduk di sekolah menengah pertama di Tanta. Saat itu ia masih berumur enam belas
tahun. Memulai dakwahnya dari desanya yang kemudian di lingkungan sekitarnya.
Dalam dakwahnya banyak menggunakan sarana yang bervariasi di antaranya adalah
dari mimbar sebagai sarana tradisional yang memiliki jejak sejarah panjang,
yakni dari masjid-masjid, dari masjidlah Yūsuf al-Qaradāwī menyampaikan khutbah
dan pelajaran-pelajarannya, menyampaikan nasehat dan fatwa-fatwanya. Hingga
kini Yūsuf al-Qaradāwī menjadi khatib tetap di Masjid Umar bin Khathab yang
pelaksanaannya langsung di televisi Qatar.[46]
Al-Qaradāwī juga
telah menjadikan media sebagai mimbar dakwahnya, diantaranya radio-radio, yang
dalam penyampaiannya ada yang berhubungan dengan Tafsir al-Qur’an, ada yang
berkenaan dengan keterangan-keterangn tentang Hadis, ada juga yang berhubungan
nasehat-nasehat tentang moral, ada pula yang berhubungan dengan tanya jawab
masalah agama secara umum; di televisi, diantaranya dalam acara Hadyu al-Islam
yang ditayangkan setiap hari jum’at di stasiun televisi di Qatar yang
berlangsung sampai sekarang, ada yang di televisi global yang di dalamnya
bercampur antara kebaikan dan kejahatan, program siaran ini bernama asy-Syarī’ah
wal Hayāh (syari’ah dan kehidupan). Di televisi al-Jazirah, al-Qaradāwī dianggap sebagai acara yang paling sukses, ada pula di acara
televisi di Dubai
yang acara ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya yang
dijawab tanpa persiapan sebelumnya. Ini semua menggambarkan kedalaman ilmu
pengetahuanm Yūsuf al-Qaradāwī.
Hingga sebuah surat
kabarnya yang terbit di mesir memberikanya gelar sebagai “ensiklopedi
berjalan”. Bisa dikatakan tidak ada satu stasiun televisi pun yang ada di
wilayah Arab yang tidak menyiarkan ceramah-ceramah Yūsuf al- Qaradāwī.[47]
Selain itu Yūsuf al-Qaradāwī
juga menyebarkan dakwahnya melalui media cetak. Tulisan-tulisan tersebar di
berbagai majalah, surat
kabar. Media terakhir yang dijadikan sarana dakwah adalah media internet.[48]
3. Karya-karya Yūsuf al-Qaradāwī [49]
Sebagai seorang ilmuwan dan da’i, Yūsuf al-Qaradāwī juga
aktif menulis artikel keagamaan di berbagai media cetak. Aktif melakukan
penelitian tentang Islam di berbagai dunia Islam maupun di luar dunia Islam.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, ia banyak menulis
buku-buku dalam berbagai masalah pengetahuan Islam, jelas tidak mengherankan
sekiranya mendapatkan predikat seorang mufti Islam dewasa ini. Di antara
karya-karyanya yang paling populer di kalangan perguruan tinggi dan pesantren
ialah:
a.
Al-Halāl wa al- Harām fi al-Islām (tentang
masalah yang halal dan haram dalam Islam)
b.
Fiqh az-Zakāh (berbagai masalah zakat dan
hukumnya)
c.
Al-Ibadah fi al-Islām (hal ihwal ibadah dalam
Islam)
d.
An-Nas wa al-Haqq (tentang manusia dan
kebenaran)
e.
Al-Iman wa al-Hayah (mengenai keimanan dan
kehidupan)
f.
Al-Hulul al-Mustauradah (paham hulul [Tuhan
mengambil tempat pada diri manusia] yang diimpor dari non Islam)
g.
Al-Hill al-Islām (kebebasan Islam)
h.
Syarī’ah al-Islām Sālihha li at-Tatbīq fi Kulli Zamānin
wa Makānin (mengenai syari’at islam, elastisitas dan kesesuaian dalam
penerapannya pada setiap masa dan tempat)
i.
Al-Ijtihād fi asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah
(ijtihad dalam syari’at Islam)
j.
Fiqh as-Siyam (fikih puasa).
4. Metode Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī
Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.[50] Oleh karena itu, untuk
membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepas
begitu saja, namun jelas pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tidak dapat dilepas dari
pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan pada pribadi Yūsuf al-Qaradāwī.
Sikap moderat tersebut tidak dapat diabaikan, karena hampir dalam semua karya Yūsuf
al-Qaradāwī selalu mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam
pertengahan). Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari
pemahaman Yūsuf al-Qaradāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan
antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas
dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan.
Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi
terhadap al-Qur’an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qaradāwī telah berhasil dengan sangat
jenius menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut.
Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran Islam
sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada saat yang
sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya yang
digalinya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Yūsuf al- Qaradāwī dengan gencar
mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihan-kelebihannya oleh umat-umat
lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhati-hati dan sangat selektif
terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau Timur, termasuk dari karangan
umat Islam sendiri, Yūsuf al-Qaradāwī tidak pernah terjebak dalam dikotomi
Barat dan Timur.[51]
Dalam masalah ijtihad, Yūsuf al-Qaradāwī merupakan seorang
ulama kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid yang
berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak membaca dan
menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam serta membaca
kritik-kritik pihak lawan Islam.[52]
Yūsuf al-Qaradāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama
yang tak jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya.
Keresahan menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat
terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya
menulis. Sekali lagi, Yūsuf al-Qaradāwī berkeyakinan bahwa mengambil jalan
pertengahan (sikap moderat) adalah yang terbaik dan yang paling sesuai dengan
warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui tulisan.[53]
Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk
pembaharuan hukum Islam. Yūsuf al-Qaradāwī berkomentar bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak memahami
parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern ekstrem yang
menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus dihapuskan meskipun telah
mengakar dengan budaya masyarakat, sama dengan golongan di atas yang tidak
memahami jiwa dan cita-cita Islam yang sebenarnya. Yang diinginkannya adalah
pembaharuan yang tetap berada di bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam,
menurutnya bukan berarti ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada
bidang pemikiran dan bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi
bidang pemikiran sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.[54]
Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qaradāwī dalam
berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut: [55]
a.
Tidak fanatik dan tidak taqlid.
Ini merupakan prinsip pertama, yaitu terlepas dari fanatisme
mazhab dan taqlid buta terhadap siapa pun, baik kepada ulama terdahulu maupun
ulama setelahnya. Karena telah dikatakan “tidaklah berbuat taqlid kecuali orang
fanatik atau orang tolol”. Pada hakekatnya tidak fanatik dan tidak taqlid
bukanlah menodai mereka, akan tetapi merupakan penghormatan sepenuhnya kepada
para imam dan fuqaha kita. Bahkan mengikuti metode dan cara mereka,
melaksanakan pesan mereka agar kita tidak taqlid kepada mereka atau kepada
orang lain, dan mengambil sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil.
Sikap ini tidak mutlak dimiliki oleh seorang ulama yang
independen dalam pemahaman yang telah mencapai derajat mujtahid seperti
imam-imam terdahulu, namun cukup bagi seorang ulama yang independen dalam sikap
ini beberapa hal berikut:
1)
Tidak mengemukakan pendapat atau keputusan yang tidak
ada dalil yang kuat atau dalil yang tidak kontradiktif dan tidak menjadi
seperti sebagian orang yang mendukung satu pendapat tertentu karena pendapat
tersebut merupakan pendapat mazhabnya yang tanpa melihat dalil atau bukti
kebenarannya.
2)
Mampu melakukan tarjih di antara berbagai pendapat yang
berbeda atau berlawanan dengan mempertimbangkan dalil-dalil dan argumentasi
masing-masing serta memperhatikan sandaran mereka, baik dari dalil naqli maupun
aqli.
3)
Mampu berijtihad secara parsial, yaitu ijtihad untuk
menentukan masalah-masalah tertentu, terlebih masalah yang belum diputuskan
oleh para ulama terdahulu dan mampu menetapkan hukum dengan cara menggalinya
dari nas-nas umum yang sahih atau mengqiyaskannya kepada masalah yang serupa
yang ada nas hukumnya atau juga dengan menggunakan kaidah istihsan,[56]
maslahah mursalah,[57]
atau dengan cara yang lainnya.
b.
Mempermudah, tidak mempersulit.
Hal ini dasarkan atas dua alasan. Alasan pertama mengenai
masalah taharah dan tayamum, dalam surat
al-Maidah Allah berfirman:
مايريد الله ليجعل عليكم من حرج
ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون.[58]
Dalam surat al-Baqarah ayat 185
juga dijelaskan mengenai pemberian dispensasi kepada orang sakit serta musafir
untuk berbuka, firman Allah:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[59]
Selain kedua
ayat di atas, disebutkan pula di dalam surat
an-Nisa’ ayat 28 yang membicarakan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi,
yakni Allah memberikan kemurahan untuk mengawini budak-budak wanita yang
beriman bagi orang yang tidak mampu kawin dengan wanita merdeka.
يريد الله ان يخفف عنكم وخلق الانسان ضعيفا [60]
Dan di dalam surat al-Hajj ayat 78
juga disebutkan berkaitan dengan hal ini
Nabi SAW pun bersabda
Alasan yang kedua yaitu karakteristik zaman yang terus
tambah, dimana zaman sekarang menggambarkan sikap hidup materialisme yang lebih
dominan dari pada spiritualisme, individualisme lebih dominan dari pada
kebersamaan (sosialisme), pragmatisme lebih dominan dari pada akhlak. Maka
sudah seharusnya bagi ahli fatwa untuk memberikan kemudahan kepada mereka
sesuai dengan kemampuannya, dan banyak memberikan rukhsoh (yang
meringankan) dari pada ‘azimah (yang keras atau berat) agar mereka makin
gemar dalam menjalankan agama dan mengokohkan kakinya dijalan yang lurus.
c. Berbicara dengan bahasa aktual.
Yaitu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah
dicerna oleh masyarakat penerima fatwa, dengan menjauhi istilah-istilah yang
sukar dimengerti atau ungkapan-ungkapan yang aneh, sebagaimana yang Allah firmankan:
وما ارسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم [62]
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang mufti dalam
penguasaan bahasa, antara lain:
1)
Berbicara secara rasional dan tidak berlebihan
2)
Tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti
3)
Menyebutkan hukum disertai hikmah dan sebab ketentuan
hukumnya (‘illat) yang dikaitkan dengan epistimilogi Islam.
d. Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
Prinsip keempat yang digunakan adalah tidak menyibukkan dirinya dalam
masyarakat kecuali dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Hal ini harus
dipatuhi oleh seorang mufti, yang terkadang dan bahkan sering terjadi seorang
mufti mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak serius, bahkan cenderung
berupa ejekan. Seorang mufti harus pandai mensikapi masalah tersebut, dengan
cara mengesampingkan pertanyaan tersebut dan bahkan tidak menghiraukan sama
sekali. Sebab hal itu dapat menimbulkan bahaya yang tidak membawa manfaat,
dapat meruntuhkan, dapat memecah, tidak membangun dan tidak mempersatukan umat.
e. Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat.
Prinsip kelima yang digunakan adalah bersikap moderat (pertengahan)
antara tafrit (memperingan) dengan ifrat (memperkuat). Seorang
mufti tidak menginginkan masyarakatnya hendak melepaskan ikatan-ikatan hukum
yang telah tetap dengan alasan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman
seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan pada modernisasi.
Selain itu juga tidak ingin masyarakatnya hendak membakukan dan membekukan
fatwa-fatwa, perkataan dan ungkapan-ungkapan terdahulu karena menganggap suci
segala sesuatu yang dulu.
f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.
Seorang mufti dalam menjawab pertanyaan dituntut untuk memberikan
keterangan dan penjelasan, karena dengan begitu orang yang bodoh menjadi
mengerti, orang yang lupa menjadi sadar, orang yang ragu menjadi mantap, orang
yang bimbang menjadi yakin, orang yang pandai menjadi bertambah ilmunya, dan
orang yang beriman semakin bertambah imannya.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufti
dalam memberikan keterangan dan penjelasan adalah sebagai berikut:[63]
a.
Fatwa tidak ada artinya jika tidak disertai dalil.
Karena keindahan dan ruh fatwa itu terletak pada dalil itu sendiri.
b.
Menyebutkan hikmah dan sebab hukum.
c. Mengkomparasikan
sikap dan pandangan Islam dengan sesuatu yang di luar Islam.
d. Memberikan
pengantar atau pendahuluan ketika hendak menjelaskan hukum yang dirasa aneh
atau asing.
e. Memberikan
alternatif lain untuk hukum yang diharamkan.
f. Menghubungkan
sesuatu yang telah ditentukan dengan sesuatu yang lain dalam hukum Islam.
Dengan demikian dapat dilihat secara jelas keadilan, kebaikan dan keunggulan
syari’at Islam.
g. Tidak
wajib dijawab atas pertanyaan yang tidak ada urgensinya dan tidak membawa
manfaat sama sekali.
Dalam bidang ekonomi Islam,[64]
Yūsuf al-Qaradāwī tidak lama menfokuskan terhadap masalah ekonomi Islam baik
secara teoritis maupun praktis. Dari sisi teoritis telah banyak disampaikan
ceramah dan pelatihan tentang ekonomi Islam dan mengarang beberapa buku tentang
ekonomi Islam yang banyak tersebar di beberapa negara Islam. Dari sudut praktis
Yūsuf al- Qaradāwī merupakan sosok pendukung utama pendirian bank-bank Islam,
baik sebelum bank itu berdiri maupun setelahnya. Dalam kitabnya bai’
al-murabahah, ia berkata “sesungguhnya kepedulian saya terhadap ekonomi
Islam merupakan gambaran kepedulian saya terhadap salah satu sisi syari’ah
Islam dan usaha-usaha penerapannya di dalam segala lapangan kehidupan serta
usaha menjadikannya sebagai pengganti hukum-hukum positif yang ada saat ini.”
Selain hal di atas, dalam pengambilan hadis
yang digunakan oleh Yūsuf al-Qaradāwī lebih mengunggulkan hadis yang mengandung
ketentuan hukum yang meringankan dari pada hadis yang mengandung ketentuan
hukum yang memberatkan. Karena prinsip-prinsip hukum Islam adalah meringankan,
bukan memberatkan.[65]
B. Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Konsumsi
- Tidak kikir atau bakhil
Harta
yang ada di dalam semesta ini adalah anugrah yang diberikan Allah SWT. kepada
manusia. Dan setiap manusia mempunyai hak yang disahkan menurut Islam untuk
memiliki harta, namun kepemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk
menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Perintah
diwajibkan untuk membelanjakan harta tercantum setelah anjuran beriman kepada
Allah dan nabi-Nya. Kombinasi antara iman dan infak banyak terdapat di dalam
ayat al-Qur’an, sebagaiman firman Allah :
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقناهم ينفقون .[66]
Dalam membelanjakan harta, Islam menggariskan bahwa tidak
boleh melampaui batas, misalnya dalam menafkahkan hartanya untuk orang banyak
dalam jumlah lebih besar dari pada nafkah pribadinya dan sebaliknya dalam
membelanjakan harta tidak boleh terlalu menghemat baik untuk kepentingan diri
maupun keluarganya. Sebagaimana firman Allah:
ولاتجعل يدك مغلولة الى عنقك ولاتبسطها كل البسط فتقعد
Allah melarang makhluknya menjerat leher dengan cara
hidup terlalu hemat sebagaimana telah melarang hidup boros dan berfoya-foya.
Dalam hal ini tidak hanya terbatas pada pakaian, tetapi mencakup juga sandang,
pangan, papan dan segala kebutuhan pokok.
Adapun dalam membelanjakan harta menurut Yūsuf al-Qaradāwī
ada beberapa sasaran, yaitu sebagai berikut:[68]
a.
Fi sabilillah.
Bentuk membelanjakan harta atau menafkahkan harta fi
sabilillah (di jalan Allah) terdapat bermacam-macam bentuk variasi:
1)
Dalam bentuk perintah dan peringatan. Allah memerintah
kita supaya jangan menjatuhkan diri kedalam kebinasaan. Dalam artian
menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi dengan mengabaikan problematika
umat. Dalam firman Allah disebutkan:
[69]وانفقوا
فى سبيل الله ولاتلقوا بأيديكم الى التهلكة
2) Dalam
bentuk pengingkaran seperti dalam firman Allah:
ومالكم الا تنفقوا فى سبيل
الله ولله ميراث السموات والأرض[70]
3) Dalam bentuk anjuran dengan pokok yang baik,
seperti diungkapkan dalam ayat:
مثل
الذين ينفقون اموالهم فى سبيل الله كمثل حبة انبتت سبع سنابل فى كل سنبلة مائة حبة
والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم[71]
4) Dalam bentuk ancaman yang keras dengan sanksi
Allah dan azab-Nya yang pedih, seperti diungkap dalam ayat yang artinya :
والذين يكنزون
الذهب والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب اليم . يوم يحمى عليها في
نار جهنم فتكوى بها جباههم و جنوبهم وظهورهم هذا ما كنزتم لأنفسكم فذوقوا ما كنتم
تكنزون[72]
Dari ayat-ayat di atas maka pengalokasian nafkah yang
wajib dibelanjakan hendaknya diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Mengenai berapa nafkah yang dikeluarkan, seperti dalam
firman Allah menjelaskan.
Kata al-‘afwu bermakna kelebihan dari kebutuhan
خير الصدقة ماكان عن ظهر غنى وابدأ بمن تعول[74]
Menurut sebagian ulama dalam mengartikan menafkahkan
harta di jalan Allah berarti semua amal yang mendekatkan diri kepada Allah
secara umum. Sedangkan menurut empat mazhab, bahwa di jalan Allah dibatasi pada
masalah-masalah yang dihubungi dengan jihad saja, yaitu perjuangan yang ikut
bertempur dimedia perang.[75]
Adapun pendapat Yūsuf al-Qaradāwī mengenai arti nafkah
“di jalan Allah” diperluas, sehingga akan meliputi segala masalah yang baik,
dan tidak dipersempit pada masalah-masalah yang ada hubungannya dengan jihad, misalnya untuk
militer dan perlengkapannya saja. Arti jihad terhadap itu sangat luas, jihad
tidak hanya dengan pedang atau perlengakapan militer lainnya, akan tetapi
dengan pena atau lidah sudah termasuk bagian dari jihad, dibidang ekonomi,
politik, pendidikan atau sosial pun termasuk bagian dari jihad..[76]
Dengan demikian arti jihad dalam ekonomi khususnya
konsumsi termasuk berusaha dan mencegah untuk tidak bakhil atau kikir, juga
termasuk berfoya-foya dan melakukan kemubadziran.
b.
Untuk diri dan keluarga.
Bentuk nafkah yang kedua adalah
nafkah untuk diri sendiri dan keluarga yang ditanggungnya. Sudah seharusnya
menjadi kewajiban bagi diri manusia yang telah dikaruniai oleh Allah sebagai
makhluk yang paling sempurna ciptaan-Nya dibanding makhluk-makhluk yang lain
untuk menjaga mempertahankan hidup sebagai rasa syukur, bukan hanya pada diri
sendiri tetapi termasuk keluarganya. Seorang muslim tidak diperbolehkan
mengharamkan harta halal dan harta yang
baik untuk dikonsumsi bagi dan keluarganya, padahal sudah jelas mampu
mendapatkannya. Perintah diwajibkannya manusia untuk menikmati kenikmatan yang
halal, seperti makanan, minuman dan perhiasan, dalam al-Qur’an diterangkan
secara global
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق [77]
Dalam hal ini juga
tidak membenarkan kesengsaraan yang disengaja dijalani, dengan alasan untuk
beribadah atau untuk menghemat uang karena hal tersebut termasuk sikap yang
membinasakan kehidupan manusia.
Kehidupan istri dan
anak-anaknya merupakan bagian dari kehidupan diri sendiri yang sudah
sepantasnya untuk diberi nafkah, dan bukan hanya sekedar nafkah tetapi nafkah
yang baik.
ومتعوهن
على الموسع قدره و على المقترقدره
متاعا بالمعروف حقا على المحسنين [78]
Bukan hanya nafkah
baik yang harus diberikan, namun termasuk membangun rumah yang luas dan nyaman.
Dalam pembangunan rumah ini seseorang harus mempunyai sikap yang sama dalam
memberikan dan mengkonsumsi nafkah yang diberikan, yaitu sikap tidak boros atau
mubazir.
Keindahan dalam rumah
bukan berarti mendorong untuk bersikap boros, karena keindahan ini sifatnya
relatif yaitu tergantung pada tempat dan waktu.
2.
Tidak mubazir
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta
miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta
menafkahkannya di jalan Allah. Dengan kata lain, bahwa Islam adalah agama yang
memerangi kekikiran dan kebakhilan.
Mubazir adalah menghambur-hamburkan uang tanpa ada
kemaslahatan atau tanpa mendapatkan pahala. Di dalam kamus, tabzir artinya
“pemborosan dan penghamburan harta”.
Menurut sebagian orang, menghambur-hamburkan uang
selalu berkaitan dengan sikap boros dalam membelanjakan barang yang haram. Pendapat
lain bahwa menghambur-hamburkan berkaitan
dengan membelanjakan barang haram. Tapi pendapat yang paling kuat
adalah, menghambur-hamburkan uang itu berkaitan dengan segala jenis
pembelanjaan yang tidak diizinkan oleh syari’at, baik untuk kepentingan agama
maupun kepentingan dunia.
Betapa banyak ditemukan bahwa mannusia membenjakan
hartanya untuk membeli minuman keras, narkotika, dan barang memabukkan lainnya,
sedang ia hidup dalam kamiskinan.
Sikap mubazir akan menghilangkan kemaslahatan harta,
baik kemaslahatan pribadi ataupun kemaslahatan orang lain. Lain halnya jika
harta atau uang itu dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala,
dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Dan pola hidup
sederhana tidak hanya dituntut dalam kehidupan pribadi akan tetapi pola hidup
sederhana juga dituntut dalam kehidupan bernegara.
Sikap boros termasuk sikap yang merusak harta,
meremehkan, atau kurang merawatnya sehingga rusak dan binasa. Perbuatan ini
termasuk kriteria menghambur-hamburkan uang yang dilarang contohnya adalah
menelantarkan hewan hingga kelaparan
atau sakit, menelantarkan tanaman hingga
rusak, menelantarkan biji-bijian, makanan atau buah-buahan hingga rusak dimakan
bakteri atau serangga dan membiarkan bangunan rusak dimakan usia. Termasuk
menelantarkan tanaman tanah perkebunan tanpa ditanami, menelantarkan sumber
daya hewani padahal kulit, susu atau bagian lainnya bisa dimanfaatkan, dan
lain-lain.[79]
Islam tidak hanya menentang sikap berlebih-lebihan dalam beribadah seperti
puasa, sholat, membaca al-Qur’an, bangun malam sehingga menggangu kesehatan
badan karena, Islam adalah agama yang memperhatikan kesehatan badan dengan cara
menunjukkan pola hidup sederhana.
3.
Kesederhanaan
Islam mewajibkan setiap orang mambelanjakan harta
miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta
menafkahkannya di jalan Allah dengan sikap sederhana, dalam firman Allah :
والذين إذا انفقوا لم يسرفوا
ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما [80]
Sikap sederhana semakin ditekankan ketika pemasukan
seseorang sangat minim, dengan cara menahan atau mengurangi pengeluarannya.
Kesederhanaan dalam konsumsi ini berlaku bagi siapa saja dan untuk siapa saja.
Pada prinsipnya setiap individu dalam syari’at Islam
bebas untuk mengkonsumsi rizki yang baik dan yang dihalalkan Allah, tapi dengan
syarat tidak membahayakan diri, keluarga atau pun masyarakat. Kebebasan yang
diberikan Allah bukan berarti dengan semauanya sendiri untuk membelanjakan
hartanya tanpa melihat batasan-batasan yang telah disebutkan di depan, yang bisa
mengakibatkan seseorang berhutang.
Menurut Yūsuf
al-Qaradāwī bukan cuma sikap
sederhana yang harus diterapkan tapi termasuk menghindari dari sikap kemewahan.
Kemewahan merupakan sikap yang dilarang karena menenggelamkan diri dalam
kenikmatan dan bermegah-megahan.
في
سموم وحميم وظل من يحموم. لا بارد ولا كريم .
إنهم كانوا قبل ذلك مترفين [81]
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang hidup
mewah dalam perspektif al-Qur’an dianggap sebagai musuh dalam setiap risalah,
lawan setiap gerakan perbaikan dan kemajuan. Kemewahan di sini yaitu terlampau
berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana hiburan, serta
segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis makanan dan
minuman serta apa saja yang memadai rumah dari perabot dan hiasan, seni dan
patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan sejenisnya.
Dalam Islam kemewahan merupakan faktor utama dari
kerusakan dan kehancuran bagi diri sendiri dan masyarakat, sementara standar
kemewahan antara seorang dengan orang lain sangat berbeda dan tergantung pada
pendapatan masing-masing. Walaupun standar kemewahan terkait dengan pendapatan
individu, namun Islam menetapkan beberapa jenis barang yang tergolong sebagai
tanda kemewahan, di antaranya adalah:[82]
a.
Cawan emas dan perak.
Cawan emas dan perak
ini tidak hanya untuk makan dan minum, akan tetapi cawan emas dan perak ini termasuk untuk
perhiasan rumah, terutama patung-patung perak dan emas.
من
شرب في اناء من ذهب او فضة فإنما يجرجر في بطنه
نار جهنم[83]
b.
Kasur dari bahan kain sutra murni.
Selain dilarang memakai cawan emas dan perak Nabi SAW.
juga melarang memakai sutra atau duduk di atasnya. Diberitahukan kepada Nabi
oleh sahabat:
نهانا
النبي صلى الله عليه وسلم ان نشرب فى انية
الذهب
والفضة وان نأكل فيها، وعن لبس الحرير والديباج
c.
Gelang emas dan pakaian sutra bagi laki-laki.
Termasuk pena emas, jam tangan dari emas, korek api
dan emas dan sejenisnya.
Yūsuf al-Qaradāwī menekankan kesederhanaan dalam hal
konsumsi tidak hanya pada seseorang dan keluarganya, namun kesederhanaan dalam pembelanjaan
ditekankan pada kepentingan masyarakat atau umum dan dalam pembelanjaan negara.[85]
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ
TENTANG
KONSUMSI
A. Perilaku Konsumsi dan Implementasinya
Tujuan Islam (maqasid asy-syari’ah) adalah bukan semata-mata bersifat materi,
sebaliknya tujuan itu didasarkan pada konsep-konsepnya sendiri mengenai
kesejahteraan (falah) dan kehidupan
yang baik (hayat tayyibah) yang
memberikan nilai sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi
dan menuntut suatu kapuasan yang seimbang baik dalam kebutuhan materi maupun
rohani.
Keimanan merupakan urutan pertama
dalam syari’ah karena memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi
kepribadian yaitu perilaku, gaya
hidup, selera dan prefensi manusia, sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya
dan lingkungannya. Keimanan tersebut didasarkan pada tiga prinsip fundamental,
yaitu: tauhid (keesaan tuhan), khalifah (perwakilan) dan ‘adalah (keadilan). Prinsip-prinsip ini
tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam, tetapi juga membentuk ujung tombak
maqasid. Menurut al-Ģazali, yang
termasuk maqasid asy-syari’ah adalah
segala sesuatu yang dianggap penting bagi manusia untuk melindungi dan
memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda.
Harta adalah salah satu unsur
kekuatan umat dan salah satu pilar kebangkitannya. Dengan harta, umat bisa
merealisasikan rencananya, bertambah pamasukannya dan menaikkan tingkat
penghasilan penduduknya. Bahkan pemilikan harta dan pemanfaatan sumber daya
alam punya peran besar dalam mewujudkan kesejahteraan di dalam kehidupan umat,
kendati demikian harta juga menjadi ancaman bahaya bagi umat dan generasinya.[86]
Harta merupakan tujuan syari’ah yang
berada pada urutan terakhir karena harta bukanlah merupakan tujuan itu sendiri,
melainkan harta adalah sebuah alat untuk merealisasikan kesejahteraan manusia.
Harta tidaklah dapat mewujudkan kesejahteraan kecuali dialokasikan secara
efisien dan didistribusikan secara adil. Dalam pemenuhan kebutuhan yang merata
akan menjadikan semua generasi mampu memberikan sumbangan yang besar ke arah
realisasi dalam mengejar falah dan
kehidupan yang baik.
Dalam firman Allah:
Konsekuensinya bahwa harta yang telah dipegang atau
sudah menjadi miliknya harus diinfakkan atau dinafkahkan, karena harta adalah
milik Allah dan manusia hanya sebagai pemegang amanat untuk memanfaatkan atau
membelanjakan harta yang sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan atau menurut
hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah.
Karena penyusun membahas tentang pemikiran tokoh yaitu
Yūsuf al- Qaradāwī tentang konsumsi dimana telah dikeluarkan beberapa prinsip
yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, yang kemudian pada bab ini
penyusun mencoba manganalisis terhadap
prinsip-prinsip Yūsuf al-Qaradāwī tersebut.
1.
Tidak Kikir atau Bakhil
Manusia adalah makhluk yang memiliki fitroh mencintai
harta benda.
Sifat tersebut
terlihat pada manusia yang suka mngumpulkan harta. Hal itulah yang menjadikan
Islam untuk menetapkan aturan-aturan mengenai harta.
Pendefinisian
bakhil pada intinya sama, namun
dalam penjelasan tersebut ada yang secara rinci dan ada yang secara global.
Menurut Yūsuf al-Qaradāwī, bakhil adalah tidak memberikan infaq baik wajib
maupun sunnah, baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga, untuk masyarakat
maupun fi sabilillah (di jalan Allah). Sedangkan menurut Afzalurrahman,
kebakhilan adalah manakala seseorang tidak menafkahkan hartanya untuk dirinya
sendiri dan keluarganya sesuai kebutuhan masing-masing dan manakala seseorang
tidak menafkahkan hartanya untuk tujuan kebaikan dan kedermawanan.
Kebakhilan bisa
jadi tidak memberikan infak untuk kebutuhan yang wajib dipenuhi sebagai
kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan, atau dari salah satu dari
ketiganya tidak terpenuhi. Atau bisa jadi kebutuhan tersebut terpenuhi dengan
jumlah yang sangat minim, sehingga kebutuhan tersebut kurang walaupun
sebenarnya mereka mampu untuk memenuhinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang
lainnya, seperti tidak menunaikan zakat, ini yang sifatnya wajib apalagi yang
sifatnya sunnah, seperti membiarkan tetangganya menangis karena kelaparan.
Dilihat dari perilaku-perilaku yang seharusnya mereka lakukan adalah perilaku
yang diperbolehkan dan dihalalkan. Dan pada umumnya Islam menganggap perilaku
yang tidak seharusnya mereka lakukan atau kebakhilan tersebut sebagai suatu
kejahatan.
Dengan tidak
membelanjakan harta yang telah dikaruniakan dan dianugrahkan oleh Allah berarti
mereka melakukan tiga kesalahan.
a. Tidak
bersyukur kepada Allah.
Dengan tidak membelanjakan harta yang dikaruniakan
oleh Allah untuk diri sendiri, kerabat dan teman-teman berarti mereka tidak
bersyukur kepada Allah. Dalam al-Qur'an manusia diingatkan bahwa penggunaan
kekayaan yang sebaik-baiknya adalah kekayaan yang dibelanjakan, bukan kekayaan
yang disimpan atau ditimbun. Orang-orang yang menimbun hartanya berarti berarti
mereka termasuk orang yang tidak bersyukur, karena mereka tidak menggunakan
hartanya untuk tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan tidak memberikan sebagian harta mereka kepada
masyarakat berarti mereka telah mencabut hak-hak masyarakat untuk
memanfaatkannya. Sehingga timbul penyalahgunaan karunia Allah yang
diperuntukkan untuk kemaslahatan umat manusia.
b. Menyembunyikan
harta mereka dari masyarakat.
Mereka menyangka bahwa tindakan kebakhilan ini baik
buat mereka, sedangkan di dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa perbuatan tersebut
buruk dan tidak mendatangkan manfaat. Dengan tidak menafkahkan harta mereka
sebenarnya mereka telah mengabaikan bahwasanya bagi masyarakat pemanfaatan
harta tersebut sangat penting dalam proses produksi. Dengan demikian, berarti
mereka memboroskan kekayaan masyarakat umum yang sebenarnya dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan kekayaan selanjutnya.
c.
Dengan menyembunyikan harta mereka berarti mereka telah
merendahkan tingkat penggunaan dan dengan demikian turut mengurangi tingkat
produksi dan kesempatan kerja dalam masyarakat.
Jika kebakhilan merajalela di masyarakat, sehingga
masyarakat melakukan penimbunan harta, kemudian tidak ada yang bersedia menjadi
konsumen, sehingga daya beli masyarakat berkurang, tidak ada yang bersedekah
sehingga orang miskin terlantar dan bertambah, maka cepat atau lambat roda
perekonomian akan berhenti.
Kebakhilan sangatlah merugikan suatu bangsa, produksi
yang selalu berjalan untuk konsumsi akan berhenti dan tidak menghasilkan apa-apa, yang kemudian
mengalami kerugian dan bisa mengakibatkan matinya suatu bangsa.
Menurut Keynes, bahwa konsumsi dapat meningkat jika
pertumbuhan tenaga kerja meningkat. Dan dapat disimpulkan bahwa pengurangan
dalam konsumsi atau kebakhilan dapat menyebabkan menurunnya kesempatan kerja.
2.
Tidak Mubazir
Mubazir adalah membelanjakan harta di dalam hal yang
tanpa ada kemaslahatan dan hal yang diharamkan. Mubazir dalam Islam sangatlah
dilarang, disamping menyia-nyiakan harta juga dapat menghilangkan kemaslahatan
harta bagi diri pribadi maupun bagi masyarakat lain. Konsep tidak mubazir ini
mengandung arti bahwa sesuatu yang dikonsumsi harus bersih dan suci, supaya
tidak meninggalkan moral, karena Islam selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
moral. Menurut Yūsuf al-Qaradāwī terdapat tiga hal dalam membelanjakan harta:
a. Membelanjakan harta untuk hal atau sesuatu
yang dilarang oleh agama
Sebagai seorang Muslim, harus berhati-hati dalam
segala hal karena dalam setiap perilaku akan menimbulkan dampak, baik positif
maupun negatif yang akan diterima baik oleh dirinya maupun oleh orang lain, dan
dalam setiap perilaku akan dipertanggungjawabkan, termasuk dalam perilaku
konsumsi.
Dalam membelanjakan harta yang harus diperhatikan
adalah kualitas barangnya, barang tersebut dapat menimbulkan dampak yang baik
atau buruk. Selain dari kualitas barang, yang juga harus diperhatikan adalah
dari segi kuantitas dari barang tersebut, yang dalam mengkonsumsinya tidak
boleh kurang ataupun lebih dari yang diperlukan.
Salah satu contoh membelanjakan harta untuk sesuatu
yang dilarang oleh agama adalah membelanjakan hartanya untuk mendapatkan barang
yang memabukkan, seperti minuman keras, narkotika, dan sejenisnya, walaupun
dalam mengkonsumsi barang tersebut sedikit dan tidak mengakibatkan si peminum
atau pemakai mabuk, namun dalam agama tetap dilarang karena merusak sesuatu yang harus dijaga yaitu
merusak tubuh dan akal, contoh lain adalah judi.
b. Membelanjakan
harta untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama
Dalam hal ini membelanjakan harta untuk memenuhi
kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan barang tersebut baik
serta halal untuk dikonsumsi, sesuatu yang baik dan halal itulah yang
dibolehkan oleh agama, selama tidak meninggalkan tanggung jawab yang lebih
besar
c. Membelanjakan harta untuk hal yang dimubahkan
oleh agama
Pembelanjaan harta di sini mempunyai sifat untuk
menyenangkan hati yang tidak lepas dari sesuatu yang baik dan halal, tidak
berlebih-lebihan dan juga tidak terlalu berhemat. Dengan kata lain
membelanjakan harta yang sesuai dengan pandapatannya, supaya terjadi
keseimbangan antara pendapatan dengan pengeluaran.
Selain pembelanjaan yang sesuai dengan pendapatan
dalam pembelanjaan harta di sini berkaitan dengan kebiasannya. Jika dilihat
dari membelanjakan harta dengan kebiasaannya belum tentu seimbang.
Menurut Jumhur
membelanjakan harta dengan cara kebaiasaannya termasuk dari menunjukkan sikap
boros, karena dalam kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang dalam membelanjakan
harta sangat berbeda-beda. Tetapi menurut pengikut Imam Syafi’i, membelanjakan
harta sesuai dengan kebiasaannya tidak termasuk dari perbuatan yang boros.
Pemborosan menurut Afzalurrahman mengandung tiga arti:[89]
a.
Membelanjakan harta untuk hal-hal yang diharamkan,
seperti judi, minuman keras, dan sejenisnya, apalagi dalam jumlah yang sangat
banyak.
b.
Pengeluaran yang berlebih-lebihan untuk barang-barang
yang halal, baik di dalam maupun di luar batas kemampuan seseorang.
c.
Pengeluaran untuk tujuan-tujuan amal saleh tetapi
dilakukan semata-mata untuk riya' atau pamer.
Untuk mencegah pemborosan harta, Islam memerintahkan
kaum muslim agar tidak menyerahkan milik mereka pada orang yang tidak bijaksana
serta belum dewasa.
Ini
memberikan indikasi bahwa sesungguhnya seluruh kekayaan dimaksudkan untuk
dimanfaatkan dan sama sekali tidak boleh dihambur-hamburkan atau di serahkan
pada orang-orang yang berakal lemah, baik orang yang belum dewasa maupun orang
dewasa yang bisa jadi salah dalam memanfaatkan harta tersebut.
3.
Kesederhanaan
Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara
sikap bakhil dan sikap berlebihan. Setiap manusia mempunyai kestandaran dalam
kehidupannya, misalnya dalam standar kehidupan itu sendiri dan standar
pendapatan. Standar kehidupan lebih mengacu pada cita-cita yang tinggi serta
prinsip yang mengatur kehidupan seseorang, misalnya membantu dan menolong orang
miskin. Sedangkan standar pendapatan mengacu pada jumlah minimum dari kebutuhan
dan kesenangan yang dianggap mutlak oleh seseorang. Mungkin seseorang mempunyai
standar kehidupan yang tinggi, akan tetapi standar pendapatannya rendah. Dan
untuk memperbaiki standar-standar tersebut seseorang mutlak diperlukan
usaha-usaha yang simultan, namun pada zaman ini setiap usaha yang dilakukan
seseorang hanya untuk meningkatkan standar pendapatannya tanpa memeperhatikan
standar hidupnya.
Islam secara fundamental menentang kecenderungan
masyarakat yang lebih mementingkan untuk mencapai dan memperbaiki standar
pendapatan dengan mengabaikan standar kehidupannya. Padahal standar pendapatan
sama pentingnya dengan standar kehidupan, dengan demikian kedua standar
tersebut harus jalan bersamaan. Sebab jika standar pendapatan meningkat dengan
tanpa meningkatkan dan memperbaiki standar kehidupan, maka hal tersebut akan
menjadikan seseorang bersikap mementingkan diri sendiri, jahat, dan sejenisnya.
Dan dapat dikatakan bahwa perbaikan standar pendapatan bukanlah tujuan
satu-satunya jalan, yang karenanya semua hal lain dalam hidup ini harus
dikorbankan. Islam tidak menuntut orang untuk menolak kesenangan dan segala
yang baik dalam hidup ini.
يا أيها الذين امنوا لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم ولا تعتدوا
إن الله لا يحب
المعتدين[91]
Islam hanya memerintahkan untuk bersikap sederhana
(tidak berlebihan) di dalam menikmati kesenangan duniawi dan menjauhi sikap
kebakhilan dan pemborosan, serta menikmati segala yang baik dalam hidup tanpa
bersikap amoral dan curang. Dengan kata lain, boleh menikmati standar
pandapatan yang segala tinggi sepanjang standar kehidupan masih tetap tinggi.
Standar pendapatan yang meningkat sehingga lebih
besar daripada pengeluarannya, sangat dianjurkan pada mereka untuk ditabung,
yang nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan
mendadak serta dapat digunakan untuk masa yang akan datang atau masa depannya.
Dalam menabung juga seseorang tidak boleh melakukan dengan cara berlebihan,
sehingga dapat menyebabkan kurangnya kebutuhan sekarang. Sikap sederhana bukan
hanya ditekankan pada pemenuhan kebutuhan saja, namun termasuk juga dalam
menabung. Bahkan dalam sedekahpun harus memberikan yang terbaik, bukan bersikap
royal yakni terlalu mengulurkannya, atau melakukannya untuk tujuan pamer atau
untuk membuat orang terkesan.
Keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran ini
sangat penting. Hal ini berlaku bagi semua orang, baik yang mampu maupun miskin
untuk mengeluarkan hartanya sesuai dengan kemampuannya. Orang yang mampu atau
kaya dapat mempertahankan standar hidupnya secara layak (baik dalam kebutuhan
dan kesenangan) meskipun dengan kondisi penghasilan yang kurang. Sementara
orang miskin dapat mempertahankan standar hidup yang wajar (terdiri dari
kebutuhan-kebutuhan dan sedikit kesenangannya) dengan sedikit kekayaannya.
Pengeluaran untuk tiap kebutuhan bagi setiap orang
berbeda, berdasarkan tanggung jawab ekonomi masing-masing, baik untuk
keluarganya yang kecil maupun untuk keluarganya yang besar. Sepanjang
pengeluarannya tidak boros dan tidak pula kikir, namun menyesuaikan dengan
pendapatan yang diterimanya.
Pada hakekatnya ajaran Islam bertujuan menggugah
orang agar mengeluarkan harta yang mereka miliki sesuai dengan kemampuan
mereka. Pengeluaran yang tidak boleh melebihi pendapatan yang diperolehnya,
sebab dapat membawa pada pemborosan. Juga dilarang membelanjakan hartanya jauh
di bawah kemampuannya, yang dapat menyeret mereka pada kekikiran. Sikap sederhana
dalam mengeluarkan harta dapat memperlancar sirkulasi kekayaan sebagai akibat
dari penimbunan harta dan dapat memperkuat kekuatan ekonomi.
Maskawih memberikan batasan-batasan sifat sederhana,
antara lain: adanya rasa malu, tenang (dapat mengendalikan hawa nafsu atau
keinginan), dermawan, puas (tidak berlebihan), loyal (tidak kikir), serta
berperilaku mulia.[92]
Batasan ini mengandung asumsi bahwa setiap individu pada dasarnya berhak
mendapatkan kehidupan yang menyenangkan.
Selain dari pemikiran-pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī
yang telah disebutkan di atas, Yūsuf al-Qaradāwī juga memasukkan konsepnya
yaitu kemewahan yang harus dihindari dan dijauhi. Kemewahan merupakan faktor
utama dari kerusakan dan kehancuran, selain merusak individu, sikap
bermegah-megah juga merusak masyarakat. Merusak individu karena yang
dikejar dari kemegahan hidup di dunia
ini tidak lebih daripada kepuasan nafsu birahi dan kepuasan perut, dan bisa
melalaikan dari norma dan etika mulia. Merusak masyarakat karena golongan
minoritas yang hidup mewah menindas hak-hak asasi golongan mayoritas dengan
kemewahannya.
Menurut Muhammad, dalam memenuhi kebutuhan barang
mewah, seseorang harus memperhatikan keadaan masyarakat sekelilingnya. Bila
masyarakat sekelilingnya bertaraf hidup rendah, maka penggunaan barang mewah
dilarang. Selain kehidupan mewah yang tidak memberikan manfaat bagi lingkungan
sosial (masyarakat) tidak perlu diajarkan.[93]
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Konsep pengaturan perilaku konsumsi menurut perilaku Yūsuf
al-Qaradāwī diantaranya adalah tidak bersikap kikir atau bakhil,
tidak mubazir dan kesederhanaan.
2.
Implementasi dari pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dalam
penyusunan skripsi ini adalah implementasi teoritis, dalam pemikirannya yang
tidak kikir atau bakhil berarti memberikan infak baik wajib maupun sunnah,
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, untuk masyarakat maupun
untuk fi sabilillah (di jalan Allah). Tidak kikir atau bakhil ini dimaksudkan
agar manusia bersikap adil dalam menggunakan hartanya. Tidak mubazir berarti
tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang tanpa ada kemaslahatan dan
untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk dalam membelanjakan hartanya dengan
berlebih-lebihan yaitu melebihi batas dalam hal yang halal. Dan yang terakhir
adalah Kesederhanaan yang harus ditanamkan dalam setiap kehidupan
keseharian manusia, yaitu bersikap tengah-tengah antara sikap bakhil, sikap
mubazir serta sikap berlebih-lebihan termasuk juga sikap kemewahan.
Membelanjakn harta untuk kebutuhan dan kesenangan dalam Islam tidak dilarang,
namun dalam kebutuhan dan kesenangan tersebut harus sesuai dengan kemampuannya
dan sesuai dengan yang dibutuhkan.
B.
Saran
1.
Pembahasan mengenai perilaku konsumsi yang telah
dirumuskan oleh Yūsuf al-Qaradāwī di dalam skripsi ini sangat simple, sangat
mudah dipahami dan mudah jika rumusan konsep pemikirannya untuk diamalkan di
dalam kehidupan kesehariannya, sehingga dalam kesehariannya akan selalu
bersikap sederhana.
2.
Pembahasan mengenai konsumsi dalam wacana di dalam
skripsi ini mungkin jauh dari kesempurnaan untuk disajikan secara utuh dan
komprehensif. Penyusun menyadari, tentunya banyak yang tercecer dan tertinggal,
karenanya penyusun mengharapkan untuk kajian berikutnya dikemudian hari dapat
mengambil apa yang dirasa kurang, dan akan sangat berguna untuk dapat memenuhi
apa yang penyusun harapkan sebelumnya, yakni mengkaji permasalahan konsumsi
dalam wacana ekonomi Islam dalam kajian yang lebih utuh dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Kelompok Al-Qur’an
Al-Qur’an al-Karim
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama, 1992.
B. Kelompok Hadis
Al-Asqalānī, Ahmad bin Ali
bin Hajar, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh al-Bukhārī), ttp. : Salafiyah,
t.t.
Al-Bukhari,
Sahih al-Bukhari, 4 Jilid, Beirut:
Dar al-Fikr, 1981.
Ibn Hanbal, Al-Imam Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, ttp.:
Dar al-Fikr, t.t.
Muslim, Jami’ as-Sahih,
4 Jilid, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
C. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeryono, Nastangin, cet. II, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata
Islam), Yogyakarta: UII Pres, 2000.
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap
Fungsi Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein, cet. I, Yogyakarata
: Aditya Media, 2000.
--------, A Contribution to The Theory of Consumer
Behavior in Islamic Society in Islamic Economic, Jedda : King Abdul Aziz University.
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih
bahasa Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997.
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, cet.
I Yogyakarta: BPFE, 2004.
Maskawih,
Ibnu, Tahdzib al-Akhlaq, Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 1985.
Al-Qaradāwī, Yūsuf, Fatwa-fatwa
Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih bahasa Drs. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), I.
----, Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi
Utomo, cet. I, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1996.
----, Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq fī al-Islām, cet. I, Kairo : Maktabah
Wahbah, 1415 H/1995 M.
----, Fatawa al-Qaradāwī:
Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih bahasa Abdurahman Ali Bauzir,
cet. I, Surabaya:
Risalah Gusti, 1993.
----, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin
Hafidudin, dkk., cet. I, Jakarta:
Rabbani Pres, 1997.
----, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zaenal Abidin dan Dahlia
Husin, cet.I, Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
Qadir, Rahman, Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Profesi, tesis tidak
diterbitkan, IAIN Suann Kalijaga Yogyakarta.
Rahmawati, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Etika Ekonomi Islam, Fakultas
Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.
Sartono, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu, Fakultas Syari’ah,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yūsuf al-Qaradāwī,
alih bahasa Samson Rahman, Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2001.
D. Kelompok Buku-buku Lain
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, alih
bahasa Dewi Nurjuliati, dkk., cet. I, Jakarta:
Yayasan Swarna Bhumy, 1995.
Assyaukanie, A. Luthfi, “Tipologi
Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, Ulumul
Qur’an: Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998.
Asnawi, Bahri Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī), Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Boediono,
Ekonomi Mikro, Yogyakarta:
BPFE, 1997.
Commins, David, “Hasan
Al-Banna (1906-1949), Para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas
Hasan, Bandung:
Mizan, 1995.
Chandra, Sri Vira, “DR
Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili: Meniti
Jalan Menuju Mardatillah.
Ensiklopedi Hukum Islam,
diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf “.
Etzioni, Amitai, Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru,
alih bahasa Tjun Suryaman, cet. I, Bandung:
PT Rosda Karya, 1992.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta:
Andi Offset, 1990.
Ma’arif, Ahmad Syarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah
(Sebuah Refleksi), Bandung:
Pustaka, 1985.
Al-Qaradāwī, Yūsuf, Umat
Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih bahasa Yogi
P. Izza, Solo: Intermedia, 2001.
----, "Tentang
Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004.
Raharjo, Dawam, Islam dan Transformasi Ekonomi, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999.
Sunarto,
Perilaku Konsumen, Yogyakarta
: Amus, 2003.
Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Mikroekonomi, cet. XII, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000.
Subkhan, Achmad, Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana
Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dan Relevansinya dalam Konteks
ke-Indonesia-an, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2000.
Yusuf, Choirudin Fuad,
“Etika Bisnis Islam, Sebuah Perspektif Lingkungan Global,” ‘Ulumul Qur’an, Vol. 3/VII/1997.
Lampiran II
BIOGRAFI ULAMA
Al-Bukhari
Al-Bukhori
lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H. Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Barzibah al-Bukhori. Pada umur 10 tahun,
dia sudah mulai menghafal hadis. Dia adalah orang yang pertama menyusun kitab
sahih, yang kemudian jejaknya diikuti ulama-ulama lain sesudahnya. Kitab
tersebut bernama al-Jami’ as-Sahih,
yang terkenal dengan Sahih al-Bukhori.
Muhammad
Abdul Mannan
Muhammad Abdul
Mannan memperoleh master dan doktornya dari universitas Michigan, Amerika Serikat dan memiliki
pengalaman bertahun-tahun sebagai pengajar dan peneliti di universitas King
Abdul Aziz, Jeddah. Abdul Mannan sangat terkenal atas karyanya di bidang Islam
dan keuangan secara umum.
Yūsuf al-
Qaradāwī
Yūsuf al- Qaradāwī, ia
lahir pada tanggal 9
September 1926. Pendidikan formalnya dimulai dari masuk Ma’had
Tanta, selama empat tahun, kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan dalam
waktu lima
tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas
Al-Azhar Cairo, beliau mengambil
Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 gelar
doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972.
Afzalurrahman
Afzalurrahman
adalah seorang cendikiawan muslim dan ahli ekonomi yang terkemuka di dunia.
Saat ini dia menjabat sebagai Deputy Secretary General dari The Muslim School
Trust, London.
Muhammad
Muhammad
lahir di Pati pada tanggal 10
April 1966 M. Gelar kesarjanaannya diperoleh di IKIP Negeri
Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) pada tahun 1990 M. Gelar
master diperoleh pada program Magister Studi Islam, konsentrasi pada Ilmu
Ekonomi Islam, di Universitas Islam Indonesia pada tahun 1999 M. Dan saat ini
dia sedang menyelesaikan program doktoral pada bidang yang masa dengan program
magisternya yaitu Ilmu Ekonomi di Universitas Islam Indonesia.
Lampiran I
TERJEMAHAN
BAB II
FN
|
Hlm
|
Terjemah
|
4
5
6
9
11
12
13
14
15
17
20
|
19
19
19
20
20
20
21
22
22
23
27
|
Mereka menanyakan kepadamu:
“Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu
yang baik”.
Hai orang-orang yang beriman,
makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.
Maka makanlah yang halal lagi
baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu.
Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syaitan adalah musuh
yang nyata bagimu.
Maka makanlah yang halal lagi
baik dan rezki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat
Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya saja menyembah.
Yang menyuruh mereka
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban belenggu yang ada pada mereka.
Makanlah dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,
sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu
dan janganlah kamu melampaui batas.
Makan dan minumlah dan
janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagi kamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika
(disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Berinfaqlah atau bermurah hatilah
atau berdermalah dan janganlah kamu bakhil, maka Allah akan bakhil kepadamu
dan janganlah kamu perhitungan maka Allah akan perhitungan denganmu.
|
BAB III
FN
|
Hlm
|
Terjemah
|
18
19
20
21
22
6
27
29
30
31
32
33
34
37
38
40
41
43
44
|
39
39
40
40
41
44
45
45
46
46
46
47
47
48
49
51
52
53
53
|
Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak memberikan kamu dan menyempurnakan nimatNya bagimu
supaya kamu bersyukur.
Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Allah hendak memberikan
keinginan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Mudahkanlah dan jangan kalian
dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat jera.
Kami tidak mengutus seorang
rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan
dengan terang kepada mereka.
(yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ģaib, yang mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka.
Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
karena kaum itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.
Dan mengapa kamu tidak
menafkahkan (sebagian harta bendamu) pada jalan Allah padahal Allahlah yang
mempusakai (menguasai) langit dan bumi.
Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari
dipanaskan emas dan perak itu kedalam neraka jahannam lalu dibakar dengannya
bersama dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.
Apa yang mereka nafkahkan,
katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”.
Sebaik-baik sadaqah adalah dari
harta yang nampak cukup (melebihi kebutuhan) dan nampak pada orang yang
memberi bahan makanan pokok.
Katakanlah “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hambaNya dan (siapa pulalah yang mengharamkan) rezki yang baik”.
Dan hendaklah kamu berikan
suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka, orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut
yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir
adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
Dalam (siksaan) angin yang
sangat panas dan air yang panas yang mendidih dan dalam raungan asap yang
hitam tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu
hidup bermewah-mewah.
Orang yang minum dengan bejana
perak sesungguhnya menggelegak dalam perutnya api neraka jahannam.
Nabi SAW. melarang kami untuk
minum dari bejana emas dan perak, untuk makan padanya, untuk memakai kain
sutera dan pakaian yang terbuat dari campuran sutera serta untuk duduk
diatasnya.
|
BAB IV
FN
|
Hlm
|
Terjemah
|
2
3
4
6
|
56
59
62
64
|
Berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya.
Dan sesungguhnya di sangat
bakhil karena cintanya kepada harta.
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada di dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan.
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu
dan janganlah kamu melampaui batas.
|
[1]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum
Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta:
UII Pres, 2000), hlm. 11.
[2] Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Ekonomi, cet. I (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 6.
[3] Amitai Etzioni, Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, alih bahasa Tjun Suryaman,
cet. I (Bandung: PT Rosda Karya, 1992), hlm. V.
[4] Yūsuf
al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral Dalam
Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafidudin, dkk., cet. I (Jakarta:
Rabbani Pres, 1997), hlm. 15.
[5]
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang
Pedagang, alih bahasa Dewi Nurjuliati, dkk., cet. I (Jakarta: Yayasan
Swarna Bhumy, 1995), hlm. 195.
[6]
Monzer Kahf, A Contribution to The Theory
of Consumer Behavior in Islamic Society in Islamic Economic (Jedda: King Abdul
Aziz University),
hlm. 21.
[7]
Choirudin Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam, Sebuah Perspektif Lingkungan
Global,”‘Ulumul Qur’an,” Vol.
3/VII/1997, hlm. 21.
[8] Yūsuf
al-Qaradāwī, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, alih bahasa Zaenal Abidin dan Dahlia Husin, cet.I, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), hlm. 148.
[9]
Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah
Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein,
cet. I (Yogyakarat: Aditya Media, 2000), hlm. 19-40.
[10]
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam, alih bahasa Nastangin (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997),
hlm, 45.
[11] Sunarto, Perilaku
Konsumen (Yogyakarta: Amus, 2003), hlm, 2.
[12] Rahman
Qadir, Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Profesi, tesis tidak
diterbitkan, IAIN Suann Kalijaga Yogyakarta.
[13]
Rahmawati, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Etika
Ekonomi Islam, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.
[14]
Sartono, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu,
Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[15]
Achmad Subkhan, Konsep Pengelolaan Zakat
Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dan Relevansinya
dalam Konteks ke-Indonesia-an, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga
Yogayakarta, 2000.
[16]
Bahri Asnawi, Pengentasan Kemiskinan
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī), Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2003.
[17]
Ahmad Syarif Ma’arif, Al-Qur’an Realitas
Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi) (Bandung: Pustaka, 1985), hlm.
23.
[18]
Sutrisno Hadi, Metodologi Research
(Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 9
.
[19]Yūsuf
al-Qaradāwī, Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq
fī al-Islām, cet. I (Kairo: Maktabah Wahbah, 1415 H/1995 M).
[20]
Boediono, Ekonomi Mikro (Yogyakarta:
BPFE, 1997), hlm. 17.
[21]
Sadono Sukirno, Pengantar Teori
Mikroekonomi, cet. XII (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 152.
[22]
Boediono, Ekonomi, hlm. 18.
[23]
Al-Maidah (5): 4.
[24]
Al-Baqarah (2): 172.
[25]
An-Nahl (16): 114.
[26]Afzalurrahman,
Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeryono, Nastangin, cet. II
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 19.
[27]
Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), hlm. 45.
[28]
Al- Baqarah (2): 168.
[29]
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 19.
[30]
An-Nahl (16): 114.
[31]
Al-A’raf (7): 157.
[32]
Al-An’am (6): 142.
[33]
Al-Maidah (5): 87.
[34]
Al-A’raf
(7) : 31.
[35]
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Prespektif
Islam, cet. I (Yogyakarta: BPFE, 2004),
hlm. 166.
[36]
Al-Baqarah (2): 173.
[37]
Seimbang mengandung arti sama besar tetapi terpenuhi kebutuhan yang sesuai
dengan kebutuhan dan atau prioritasnya.
[38]
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam, hlm.
177.
[39]
Al-Imām Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, (ttp.:
Dar al-Fikr, t.t.), VI: 346. Hadis ini diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar.
[40]
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam, hlm.
180.
[41]
Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf ”.
[42] Ibid.
[43]
Al-Ikhwan al-Muslimun: sebuah gerakan yang didirikan pada bulan Maret 1928 di
Kairo, Mesir oleh al-Imam al-Hasan al-Banna yang bertujuan untuk mempromosikan
Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing. David Commins,
“Hasan al-Banna (1906-1949), para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa
Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 133.
[44] Yūsuf
al-Qaradāwī, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9
Juli 2004.
5 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh Yūsuf
al-Qaradāwī, alih bahasa Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 4.
6 Ibid.,
hlm. 10.
[47] Ibid.,
hlm. 12.
[48] Ibid.
[49]
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449-1450.
[50]
Dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual,
istilah pemikiran merupakan sesuatu yang ambisius, dapat diterapkan kepada
siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu, ia dapat diterapkan kepada
seorang philosopher, thinker, scholar/intelektual, yang merujuk kepada figure
pelajar. Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer” Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember
1998, hlm. 58.
[51]
Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili,
No. 25, Th. VII (31 Mei 2000), hlm. 80.
[52]
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449.
[53] Yūsuf
al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain),
alih bahasa Yogi P. Izza, (Solo: Intermedia, 2001), hlm. 327.
[54] Ibid.
[55]
Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih
bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), I: 21.
[56]
Istihsan dalam pengertian umum ialah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedang
menurut istilah ahli ushul, berarti pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan
qiyas jaliy (qiyas yang illatnya samar-samar yang ada pada pokok, yang kemudian
dipetik dari padanya), atau dalil kully kepada hukum lakhsis. Ini disebabkan
ada dalil yang menyebabkan mujtahid menyalahkan cara berpikirnya, dan
mementingkan pemindahannya. Karena itu jika terdapat suatu kejadian yang tidak
ada nas hukumnya, ada dua cara pembahasan yang berlawanan, yaitu: a) dari segi
zahir yang berkehendak adanya suatu hukum, dan b) dari segi zahir yang
berkehendak adanya suatu hukum lain. Dalam hal ini, pada diri mujtahid telah
terdapat dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafiy. Kemudian karena
berpindahnya kepada yang zahir (nyata), maka hal ini menurut syara', disebut
Istihsan. A. Hanafi, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1975), hlm. 142.
[57]
Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan yang tersebar. Menurut istilah
adalah perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat
Islam atau untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan seperti kesempitan,
sedangkan tidak terdapat dalil syara' pun yang menunjukkan ada atau tidak
adanya hukum tersebut, Ibid.
[58]
Al-Maidah (5): 6.
[59]
Al-Baqarah (2): 185.
[60]
An-Nisa’ (4): 28.
[61]
Al-Imām Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hambal, (ttp.: Dar
al-Fikr, t.t.), IV: 417. Hadis dari Abu Burdah dari ayahnya dari kakeknya.
[62]
Ibrahim (14): 4.
[63] Yūsuf
al-Qaradāwī, Konsep dan Praktek Fatwa
Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. I (Jakarta: Pustaka
al-Kaustar, 1996), hlm. 110.
[64]
Ishom Talimah, Manhaj Fiqh, hlm. 15.
[65] Yūsuf
al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer,
alih bahasa As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 235.
[66]
Al-Baqarah (2): 3
[67]
Al-Isra’ (17): 29.
[68] Yūsuf
al-Qaradāwī, Peran Nilai & Moral Dalam Perekonomian Islam, alih
bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 214.
[69]
Al-Baqarah (2): 195.
[70]
Al-Hadid (57): 10.
[71]
Al-Baqarah (2): 261, lihat juga ayat 245.
[72]
Al-Taubah (9): 34-35.
[73] Al-Baqarah
(2): 219.
[74]
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalānī, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh
al-Bukhārī), (ttp.: Salafiyah, t.t.), hlm. 294, hadis nomor 1426, “Kitāb
az-Zakāh,” “Bāb Lā Sadaqata Illā ‘an Zahri Ganiyyi.” Hadis ini sahih dan
diriwayatkan dari Abu Hurairah.
[75] Yūsuf
al-Qaradāwī, Fatawa Qardawi: Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih
bahasa Abdurahman Ali Bauzir, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), hlm. 169.
[76]
Ibid,. hlm. 170.
[77]
Al-A’raf (7): 32.
[78]
Al-Baqarah (2): 236.
[79]
Yūsuf al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm. 157.
[80]
Al-Furqan (25): 67
[81]
Al-Waqi’ah (56): 42-45.
[82] Yūsuf
al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm 153.
[83]
Muslim, Jāmī’ as-Sahīh, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), V:135, “Kitāb al-Libās wa az-Zīnati,” “Bāb Tahrīm Isti’māl Inā’
az-zahabi wa al-Fidoh.” Menurut Turmuzi hadis ini hasan sahih, diriwayatkan
dari Ummi Salamah.
[84]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VII:45, “Kitāb
al-Libās,” “Bāb Iftirāsy al-Harīr.” Hadis ini diriwayatkan dari Khuzaifah.
[85] Yūsuf
al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta:
Robbani Press, 1997), hlm. 278.
[86]
Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai Dan Moral
Dalam Perekonomian Islam,alih
bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 109.
[87]
Al-Hadīd (57): 7
[88] Al-Ādiyāt
(100): 8.
[89]
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang,
[90]
An-Nisa' (4): 5.
[91]
Al-Maidah (5): 87.
[92]
Ibnu Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1985), hlm. 304.
[93]
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif
Islam, (Yogyakarta:
BPFE, 2004), hlm. 173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar