ASSALAMUALAIKUM...

Selasa, 07 April 2015

1. Bagaimana Ahmad Tohari mengemukakan konsep humanisme dalam karya sastra novel Bekisar Merah dan Belantik?



BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang Masalah

Ahmad Tohari merupakan sastrawan papan atas tingkat nasional dalam konstelasi penulis/sastrawan humanis karena mampu mengangkat tema-tema kemanusiaan dengan gagasan kuat yang mudah dipahami oleh pembaca dari segala lapisan masyarakat. Pilihan Ahmad Tohari dalam mensosialisasikan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan melalui novel diakui sebagai jalan terbaik yang bisa dilakukan ketimbang menjadi sosok lain. Sebab kebebasan berekspresi seperti dalam memilih bahasa pengungkapan melalui tulisan demikian tidak terbatas. Itulah sebabnya novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala, dan karya “fiksi” lainnya banyak diminati kalangan penikmat sastra.
Karya sastra adalah barang buatan manusia yang mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada manusia lain melalui kata-kata. Sesuatu tersebut berupa pikiran, harapan, perasaan, dan gagasan yang muncul setelah mengalami, merasakan, melihat dan mendengarkan kejadian. Manusia menyediakan sesuatu persoalan yang oleh sastrawan ditampilkan dalam karya sastra. Oleh karena itu apa yang dituliskan dalam karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari.
Menurut Sapardi Djoko Damono sebagaimana dikutip Diyah Widyawati[1], karya sastra menampilkan gambaran kehidupan. Kehidupan itu sendiri menyangkut hubungan masyarakat, antara seseorang dengan seseorang, dan antara peristiwa yang terjadi dalam batin pengarang. Karya sastra dengan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Dan keberadaan sebuah masyarakat merupakan sumber inspirasi bagi pengarang untuk menulis karya-karyanya.
Pengarang adalah seniman yang kreatif yang melahirkan karya sastra, selain sebagai pembaca kreatif yang menghasilkan pengungkapan pribadi (personal) yang berkaitan dengan katarsis atau kesenangan juga dengan sadar dan sengaja memberikan pertimbangan-pertimbangan dan evaluasi tertentu. Untuk dapat menghasilkan sebuah karya sastra, pengarang harus memiliki modal, bahan, alat, dan kekuatan tertentu yang khas dari dalam dirinya. Alam, hidup, benda-benda, peristiwa kehidupan, dan keadaan sekelilingnya merupakan bahan dan modal dasar bagi sastrawan. Seperti halnya Ahmad Tohari, ia sangat memanfaatkan modal yang ada tersebut.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa. Sebagai masyarakat Jawa ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama sekali tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Didukung oleh sikap kritis dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Ahmad Tohari berhasil menyusun konsep kepengarangannya yang boleh dikatakan khas.[2]
Gambaran kehidupan yang disuguhkan Ahmad Tohari dalam karya-karyanya adalah kehidupan masyarakat pedesaan dan kehidupan masyarakat miskin, wong cilik (lapisan bawah), yang lugu dan sederhana jauh dari kehidupan kota. Hubungan masyarakat yang wajar, harmonis, dan tenteram, masyarakat dengan lingkungan yang ada merupakan pusat perhatian di dalam karya-karyanya. Ia sebagai anggota masyarakat merasa terlibat dan ingin mengungkapkan derita, persoalan dilema masyarakat pedesaan. Dalam mengekspresikan terhadap objek dan lingkungan, Ahmad Tohari benar-benar sudah mengenal, mengetahui dan menghayati.[3]
Lebih dari itu, kenyataan bahwa Ahmad Tohari demikian kental dan intensif mengangkat tema-tema humanisme sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat kecil adalah bagian dari sebuah perjuangan yang mengharuskan dirinya bertindak karena dekat dengan masyarakat pinggiran. Ia hidup di tengah masyarakat yang selama ini terabaikan oleh pembangunan dan selalu menjadi korban ulah dari kaum berduit, seperti nasib penyadap nira (gula merah) yang memang ada di sekelilingnya, sebagaimana tersurat dalam novel Bekisar Merah[4] dan Belantik.[5]
Ahmad Tohari, merupakan sosok kecil dan jauh dari bayangan figur seorang yang mempunyai prestasi nasional, meskipun kenyataan ia telah menapaki tingkat internasional --novel triloginya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Cara berpakaiannya sederhana tidak beda dengan orang desa kebanyakan. Melihat penampakannya, mengingatkan kita kepada seorang santri yang saleh, yang mempunyai wawasan terbuka.
Pengalamannya luas. Ia bisa menerima pandangan yang berbeda dari semua kalangan dan hidup berdampingan secara damai dengan semua insan dari berbagai lapisan, tanpa melihat asal-usul dan latar-belakangnya. Walau orang desa, Ahmad Tohari tidak gagap menatap kehidupan kota, melainkan dia mampu mengkompromikan kehidupan kota dan desa yang terkadang berbenturan. Kehidupan desa yang menekankan hidup bergandengan dan sederhana tidak dipertengkarkan dengan kehidupan kota yang lebih menonjolkan kemewahan dan individualitas.[6]
Karya-karya Tohari yang menyimpan gagasan kemanusiaan dalam perspektif orang desa adalah kekayaan khazanah intelektual bangsa Indonesia yang bernilai bagi kemanusiaan itu sendiri yang tidak dapat dinafikan begitu saja. Sehingga penelitian akan pentingnya memahami gagasan humanisme manjadi kebutuhan tersendiri mengingat kondisi bangsa Indonesia dewasa ini yang masih belajar menjadi menjadi manusia adalah menjadi kebutuhan itu. Kiranya dapat dimaklumi oleh khalayak ketika penulis memberanikan diri mengangkat tema ini berkaitan dengan upaya belajar memahami nilai-nilai kemanusiaan khas masyarakat pedesaan agar dapat dijadikan pedoman bagi yang berkepentingan, siapapun dia, dari mana asalnya, dan dalam tingkatan/pangkat apapun.
Dunia pedesaan adalah dunia jujur dan senantiasa mengutamakan keharmonisan dan keselarasan hubungan dengan mahluk dan dunia sekitarnya. Demikian sedikitnya, kesan yang timbul hampir semua karya-karya Ahmad Tohari. Tokoh sentralnya adalah warga desa dari kalangan wong cilik. Ia seolah-olah mewakili teriakan rakyat kecil yang miskin dimiskinkan, bodoh dibodohi, dan terbelakang. Mereka menerima apa adanya segala sesuatu yang terjadi atas dirinya, semua kesenangan atau kegembiraan yang dialaminya seolah-olah mutlak titah Yang Maha Pencipta. Tokoh-tokoh dalam karya-karya selalu menunjukkan orang desa, seperti Karyamin, Minem, Blokeng, Sutabawor, Rasus, Eyang Mus, Lasi, Kanjat, Kenthus, Darsa, dan lain-lain yang semuanya menunjukkan nama sikap pasrah terhadap perilaku alam dan komunitas masyarakat yang menghimpitnya.[7]
Sebab apa yang menjadi keprihatinan Tohari adalah bahwa manusia berkecenderungan dengan sifat hewaniyah. Ia mencoba melawan dengan gagasan humanisme lewat karya sastra agar kecenderungan itu tidak semakin parah sehingga antar manusia dapat saling memahami perbedaan, yang kaya memahami yang miskin, dan sebaliknya. Berlawanan dengan pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk tidak berharga, yang hidupnya menjadi bulan-bulanan nasib dan tidak mampu menyelesaikan tugas hidupnya tanpa bantuan kekuatan lain, maka ada pandangan yang menekankan martabat manusia dan kemampuannya untuk ditonjolkan.
Menurut pandangan itu manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri dan mencapai kepenuhan eksistensinya menjadi manusia paripurna. Pandangan itu adalah pandangan humanistis, atau humanisme. Humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti ‘manusia’. Humanus berarti ‘bersifat manusiawi’, ‘sesuai dengan kodrat manusia’.[8]
Semula humanisme merupakan sebuah gerakan yang tujuan dan kesibukannya adalah mempromosikan harkat, martabat, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai aliran pemikiran etis yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan harkat, peranan, dan tanggungjawab manusia. Menurut humanisme, manusia adalah mahluk yang mempunyai kedudukan istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk-mahluk lain di dunia karena bersifat rohani.[9]
Oleh sifatnya yang rohani, manusia merupakan mahluk yang lebih tinggi daripada ciptaan yang sekedar sensitif, seperti binatang, yang vegetatif, seperti tumbuh-tumbuhan, atau yang sekedar materiil, seperti benda-benda mati. Karena sifatnya yang rohani, manusia mempunyai daya-daya rohani seperti cipta, karsa, dan rasa, yang tidak ada pada mahluk-mahluk di bawahnya. Sifat dan kemampuan rohani itu membawa konsekuensi. Manusia mampu berbuat dan harus bertanggungjawab atas hidup dan tindakannya sendiri.
Dalam etika, hal itu berarti bahwa dengan pemikiran sendiri manusia mampu menetapkan mana yang benar dan mana salah, mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang berguna dan mana yang tidak berguna. Dengan kemampuan sendiri, manusia mampu mempertanggungjawabkan perilaku dan hidupnya. Dengan penglihatan sendiri, manusia mampu menetapkan arah dan tujuan hidupnya. Manusia tidak perlu wahyu atau ilham, entah dari mana asalnya, untuk menemukan baik dan jahat.
Dalam bertindak, dia tidak perlu berpikir tentang sanksi-sanksi dari siapa dan dari mana pun. Dalam arah dan tujuannya, dia tidak perlu menerima arah dan tujuan yang ditawarkan oleh otoritas lain seperti masyarakat atau agama. Dengan singkat, dalam manusia beretika adalah ukuran dan kriteria untuk segala-galanya. Berdasarkan hal itu manusia ditentukan arah dan tujuan hidup, kebaikan dan kejahatan, jasa dan bukan jasa.[10]
Singkat cerita, humanisme sebagai paham tentang manusia dan sebagai pemikiran etis telah berjasa mengembalikan harkat dan martabat manusia, menyadarkan potensinya, dan menandaskan tanggungjawabnya dalam kehidupan. Namun pandangan humanistis berat sebelah, terlalu melihat segi positif manusia saja. Dengan pandangan berat sebelah itu, tawarannya untuk menjadikan manusia sebagai ukuran dan kriteria segala-galanya tidak dapat diterima. Agar kokoh, ukuran dan kriteria harus dicari di tempat lain. Ukuran dan kriteria itu harus tetap, konsisten, stabil, kokoh, tidak tergoyahkan. Karena itu, ukuran itu harus lebih tinggi dan ada di atas manusia.
Salah satu masalah yang kita hadapi dalam usaha pembangunan bangsa kita dewasa ini adalah pembinaan mental. Yang dimaksud dalam hal ini adalah usaha peningkatan kesanggupan rohaniah untuk menghayati segala segi kehidupan dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup sebesar-besarnya.
Menurut Umar Kayam sebagaimana dikutip Jabrohim, salah satu jalan yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pembinaan mental itu adalah penghayatan sastra. Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan interpretasi serta penilaian terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Kesenian –sastra termasuk di dalamnya—dapat dipandang sebagai cara manusia untuk menata kembali kehidupan lewat berbagai imaji dengan cara yang dirasakan paling mesra.[11]
Berangkat dari uraian di atas, penulis mengajukan landasan pemikiran ini sebagai bahasan skripsi dengan mengambil tema humanisme menurut Ahmad Tohari dengan tinjauan filosofis berdasar karya sastra. Lain hal, berangkat dari ketertarikan dengan humanisnya karya-karya Ahmad Tohari, penulis merasa perlu mengkaji lebih jauh tentang gagasan humanismenya. Apalagi humanisme sebagai barang mewah dewasa ini kiranya akan lebih berarti ketika orang lain mau menyerap untuk kemudian dipertimbangkan bagi kehidupannya, khususnya bagi kehidupan penulis pribadi agar dapat diterima secara lebih memadahi di kemudian hari.

B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa studi pemikiran Ahmad Tohari, terutama pandangan humanisme yang tertuang dalam karya sastra berwujud novel Bekisar Merah dan Belantik merupakan kajian yang menarik untuk ditelaah lebih jauh. Pemikiran humanisme tentang sulitnya berdiri tegak yang sebenarnya merupakan kesatuan pemikiran yang tidak dapat dipisahkan dari gagasan upaya memulihkan martabat kemanusiaan. Pemikiran-pemikiran Tohari yang lain hanya akan disinggung sejauh mendukung alur pembahasan.
Penulis memilih karya sastra sebagai objek kajian karena melalui karya sastra dapat diperhatikan adanya social fait (hasil sosial). Titik tolak pemikirannya bahwa kelompok sosial tertentu mempunyai pandangan tertentu pula tentang dunia dan ia memiliki kekhususan cara melihat serta merasakan kenyataan dalam dunia kehidupan. Apalagi sebuah karya yang ada merupakan hasil perenungan dan dapat memberikan kesadaran seseorang dalam berkarya.
Pandangan tentang dunia ini membentuk pandangan yang bersatu padu dengan keseluruhan realitas. Pengarang memiliki keistimewaan dalam taraf kejelasan dan kedalaman tertentu sehingga mereka mampu membahasakan pendangan dunia yang khusus. Hubungan antara pengarang dengan pandangan dunia dalam karya sastra berintikan masalah sosial dan bukan hanya sekadar riwayat hidup pribadi. Bagaimanapun atau seberapa sederhana, novel merupakan suatu tekstualisasi ideologi atau pandangan dunia. Kalau hal ini diabaikan berarti sama dengan menolak pandangan dunia yang dimiliki pengarang.[12]
Oleh sebab itulah, secara lebih rinci, skripsi ini akan mencoba menguraikan secara lebih detail tentang gagasan atau pandangan dunia yang terkandung dalam dua novel itu dengan mengangkat dan merumuskan persoalan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Ahmad Tohari mengemukakan konsep humanisme dalam karya sastra novel Bekisar Merah dan Belantik?
2.      Bagaimana sikap Ahmad Tohari dalam melihat realitas masyarakat pedesaan sebagai upaya mendakwahkan nilai-nilai humanisme?
3.      Apa relevansi pandangan humanisme Ahmad Tohari terhadap upaya bangsa Indonesia menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian integral dalam membangun karakter bangsa?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagaimana di atas, kajian/penelitian ini berusaha menelaah seta mengkaji secara filosofis atas pemikiran Ahmad Tohari tentang humanisme. Dari situ diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang cukup mendalam tentang pandangan humanisme Ahmad Tohari, dan bagaimana pandangan itu memberikan kontribusi terhadap pengembangan studi-studi kefilsafatan serta implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memiliki nilai kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun praksis.[13] Secara teoritis, penelitian ini akan merupakan sumbangan yang cukup berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama studi ilmu-ilmu sosial, khususnya filsafat sosial. Secara praksis, sebagai sebuah landasan teoritis, penelitian ini tentunya diharapkan mampu memberi sumbangan yang berharga, kaitannya dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis, terciptanya civil society, yang dapat menghargai perbedaan serta terbuka terhadap kritik. Di samping itu juga untuk menambah khazanah kepustakaan, khususnya tentang pemikiran Ahmad Tohari dan umumnya terhadap studi ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, bahwa penelitian ini juga memiliki kegunaan formal, yakni untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan strata satu (S1) di bidang Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

D.    Tinjauan Pustaka

Yang dimaksud tinjauan pustaka dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan murni dengan mempertimbangkan kemanfaatan dan aktualitas tema yang penulis angkat, yakni bertema humanisme. Alasan penulis mengacu pada kajian pustaka karena sejauh ini belum ada penulis yang mengangkat tema humanisme berdasar novel-novel Ahmad Tohari. Berikut ini penulis paparkan tiga buah karya yang membedah pemikiran Ahmad Tohari berdasar novel-novelnya:
1.                  Niniek Sulistyorini, Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dalam Tinjauan Strukturalisme Dinamik, Surabaya: Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, 1995. Karya ini membedah novel Ahmad Tohari berjudul Berkisar Merah dengan pendekatan strukturalisme yang lebih mengedepankan aspek-aspek teknis mengungkapan cerita sebagai metode penyusunan plot per plot agar mudah ditangkap pembaca. Skripsi ini tidak mengulas kandungan isi tema dari novel tersebut.
2.                  Diyah Widyawati, Tinjauan Novel-Novel Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Ekspresif, Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996. Karya ini lebih banyak mengupas sisi-sisi ekspresif (cenderung memakai simbol-simbol yang menyentuh perasaan pembaca) berkaitan dengan gaya pengungkapan cerita yang disusun Ahmad Tohari. Diyah berupaya menjelaskan mengapa Ahmad Tohari cenderung bergaya ekspresif, di mana menurutnya gaya Ahmad Tohari ini sebagai ciri khas sebagai pengarang.
3.                  Muhammad Fuad, “Rumah” Ahmad Tohari dalam Kajian Historis-Ekspresif, Bandarlampung: Penerbit Karyamedia, 2003. Karya yang telah diterbitkan sebagai buku ini mulanya merupakan disertasi. Karya Muhammad Fuad ini dalam sejarah kepustakaan tentang Ahmad Tohari termasuk yang paling komprehensif. Ia cukup detail menjelaskan proses kreatif Ahmad Tohari berikut sejumlah kecenderungan yang dimiliki Ahmad Tohari. Karya ini bukan hanya mengupas novel-novel Ahmad Tohari namun juga mengupas sejumlah kolom-kolom penting yang telah dipublikasikan oleh media massa regional dan nasional, termasuk sejumlah cerita pendek.
Tiga karya itu sengaja penulis kemukakan di sini sebagai pertimbangan bahwa kajian pustaka dalam skripsi ini menjadi penting karena belum ada yang mengupas tema humanisme. Menurut Ahmad Tohari, sejauh ini karya-karyanya telah membuahkan tidak kurang dari seratus skripsi, tesis, dan disertasi yang mengantarkan pembahasnya memiliki gelar akademik. Namun ia menyatakan belum ada yang mengangkat tema humanisme. Kebanyakan skripsi, tesis, dan disertasi mengkaji aspek sastra, sementara aspek filosofisnya tidak disentuh. Makanya ketika penulis datang ke rumahnya dan mengemukakan niat akan mengangkat tema humanisme berdasar novel Bekisar Merah dan Belantik, Ahmad Tohari menunjukkan wajah yang cukup gembira sembari mengatakan: “Nah, itu yang saya maksud. Mengapa baru datang sekarang?”[14]

E.     Metodologi Penelitian

Penelitian ini besifat kepustakaan murni (library research), dalam arti bahwa data-data yang mendukung kajian ini berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar dan sebagainya.
Di dalam pengumpulan data-data tersebut, tentunya diupayakan data-data yang berkaitan dengan fokus kajian, baik yang berupa data primer maupun skunder. Data primer dalam hal ini adalah karya Ahmad Tohari, terutama Bekisar Merah dan Belantik, dan karya-karya lainnya sejauh mendukung pokok bahasan, khususnya kolom-kolom yang terkumpul dalam buku Mas Mantri Gugat dan Berhala Kontemporer. Sedangkan data skunder adalah tulisan-tulisan penulis lain yang membahas pemikiran Ahmad Tohari. Termasuk data skunder juga adalah kajian yang  membahas persoalan humanisme.
Dengan demikian, maka pada dasarnya penelitian untuk skripsi ini menggunakan metode historis faktual, yakni studi atas pemikiran tokoh, dalam hal ini pemikiran Ahmad Tohari tentang humanisme. Sebagai sebuah studi pemikiran, maka objek tersebut akan dikaji secara filosofis, termasuk menyinggung persoalan sosiologis, budaya atau bahkan politik[15].
Oleh sebab referensi utama yang dikaji adalah karya sastra novel, maka penulis dalam penelitian ini akan menggunakan teori sastra dengan pendekatan semiotik. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme yang tidak dapat dipisahkan dengan semiotik, sebagaimana dikemukakan Umar Yunus dikutip Rachmat Djoko Pradopo. Alasannya, bahwa karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (atau karya sastra) tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.[16]
‘Tanda-tanda’ dalam konteks ini adalah ‘bahasa’ yang digunakan sastrawan Ahmad Tohari sebagai objek penelitian yang akan dikaji. Sebab medium tanda berupa bahasa tulis itulah satu-satunya yang dapat dijangkau sehingga akan ditemukan makna-makna sesuai yang diinginkan sastrawan.
Di sinilah konteks penggunaan metode pengupasan karya sastra dengan semiotika, yakni mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan pengkajian sastra, penelitian semiotik meliputi analisa sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada ditentukan konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.[17]
Analisa sastra dalam konteks ini adalah penggalian makna dalam bahasa tulis yang dipakai Ahmad Tohari sebagai media pengungkapan gagasan. Sebagaimana dikatakan Levinas bahwa ‘bahasa adalah penyapaan’, di mana pada dasarnya adalah percakapan atau dialog dan dalam dialog itu dimaksudkan menyapa antar sesama. Yang dibicarakan selalu dilatarbelakangi oleh orang yang disapa.[18]
Menurut Levinas, mengatakan sesuatu berarti menyapa seseorang. Tema dikuasai dan diarahkan oleh orang yang disapa. Hakikat bahasa adalah interpretasi, penyapaan. Bahasa mengadakan perdamaian sebelum menjadi sistem tanda untuk menyampaikan pikiran. Bahasa berkaitan dengan etika sebelum berkaitan dengan teori.[19]
Dari hal itu maka langkah-langkah metodis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Pertama, diskripsi. Di sini penulis mencoba mendiskripsikan dan membahasakan pemikiran Ahmad Tohari tentang humanisme secara lebih sistematis, ditinjau dari sudut analisa filosofis. Dimulai dari pandangan Tohari tentang humanisme hingga sampai pada pilihan menggunakan media sastra novel. Sehingga dari sini diharapkan mampu memunculkan pemahaman baru.
Kedua, holistika. Dengan metode ini penulis berusaha menyajikan pemikiran Ahmad Tohari secara lebih komprehensif. Artinya akan dicoba digali unsur-unsur yang mempengaruhi pemikirannya, baik lingkungan, latar belakang atau masyarakat di mana ia hidup. Hal ini karena manusia hanya dapat dipahami dengan memahami seluruh kenyataannya[20], sehingga akan lebih adil dalam melihat sebuah pemikiran.
Ketiga, Interpretasi. Dengan ini peneliti akan mencoba menyelami karya Ahmad Tohari tentang humanisme, untuk kemudian dapat menangkap arti, nilai serta maksud yang dikehendaki. Sehingga dapat dicapai pemahaman yang benar tentang pemikiran Ahmad Tohari tersebut. Selanjutnya peneliti akan mencoba menafsirkan pemikiran tersebut dan menarik relevansinya dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
Setelah melalui beberapa langkah sebagaimana di atas, penulis akan berusaha melakukan analisis kritis terhadap pemikiran Ahmad Tohari, kelebihan dan kelemahan serta relevansinya untuk konteks saat ini. Sehingga dengan demikian akan diperoleh pemahaman yang seimbang dalam kerangka teori yang dikategorikan sebagai pemikiran humanisme. Untuk kebutuhan ini penulis menggunakan metodologi Jabrohim dalam meneliti sastra religius Tahajjjud Cinta karya Emha Ainun Najib.[21] Jabrohim menyatakan, bahwa sastra mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Struktur karya sastra pada dasarnya merupakan pendukung serta pelaksanaan makna karya sastra. Karya sastra mempunyai dua makna, yakni makna niatan (amanat) dan makna muatan (tema). Makna niatan adalah makna yang dikehendaki oleh penyairnya, sedangkan makna muatan ialah makna yang ada dalam struktur karya sastra itu sendiri. Di sinilah yang coba akan penulis gali sebagai upaya mengungkap gagasan humanisme yang dicetuskan Ahmad Tohari melalui medium dua buah novel: Bekisar Merah dan Belantik.

F.     Sistematika Pembahasan

Bertolak dari berbagai hal di atas, demi memudahkan pemahaman terhadap kajian ini, serta memperoleh gambaran yang terarah dan sistematis, maka pembahasan dalam penelitian ini akan disusun sebagai berikut:
Bab Pertama (I), Pendahuluan, menguraikan argumentasi terhadap pentingnya kajian yang dilakukan. Bagian ini mencakup latar belakang masalah, mengapa penulis mengangkat tema ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab Kedua (II), menguraikan sosok Ahmad Tohari, yang meliputi riwayat hidup, karya-karyanya, dan lingkungan sosial yang melatarbelakangi. Dijelaskan bahwa Ahmad Tohari mempunyai pengalaman khas dan proses kreatif yang lain dari sastrawan lainnya. Mengapa demikian? Silakan baca bab kedua ini.
Selanjutnya Bab Ketiga (III) berisi landasan teoritik untuk membedah pandangan humanisme Ahmad Tohari. Dalam bab ini dijelaskan konsep-konsep humanisme yang berkembang di dunia, serta tidak ketinggalan akan penulis uraikan pula humanisme dalam perspektif Islam maupun “non-Islam”.
Sementara itu, Bab Keempat (IV) merupakan pembahasan pokok dari penelitian ini. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang pandangan humanisme yang digagas Ahmad Tohari dalam novel Bekisar Merah dan Belantik. Penjelasan meliputi kata-kata langsung maupun istilah-istilah yang mengandung makna tersembunyi. Akhirnya Pembahasan ini diakhiri dengan Bab Kelima (V), yang merupakan penutup dan kesimpulan.





[1] Diyah Widyawati, Tinjauan Novel-Novel Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Ekspresif, Skripsi (Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996), hlm. 3.
[2] Ibid, hlm. 1-2. Tentang sifat kepengarangan Ahmad Tohari yang khas ini, lebih detail diterangkan dalam Bab II perihal latar belakang Ahmad Tohari dan karya-karyanya. 
[3] Ibid.
[4] Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan I Mei 1993. Novel ini pernah dipublikasikan secara bersambung di harian Kompas pada Februari-Mei 1993.
[5] Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, Jakarta, Cetakan I November 2001. Novel ini merupakan sambungan dari Bekisar Merah sehingga disebut Belantik (Bekisar Merah II).
[6] Edi Hidayat, Kang Tohari: Berangkat dari Kesalehan, Jurnal Taswirul Afkar, No. 14 Tahun 2003, hlm. 178.
[7] Diyah Widyawati, Op. Cit., hlm. 23.
[8] A. Mangunhardjana, Isme-Isme dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 93.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 94.
[11] Jabrohim, Tahajjud Cinta Emha Ainun Najib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1.
[12] Akhmad Toibin, Kajian Strukturalisme Genetik Novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari, Skripsi (Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta, 1990), hlm. 51.
[13] Sebagaimana dijelaskan oleh Woodhouse, bahwa sebuah penjelasan ilmiah, terutama dalam penelitian filsafat, itu mempunyai dua tujuan spesifik sekaligus, yaitu praksis dan teoritis. Lihat Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 37.
[14] Wawancara dengan Ahmad Tohari, Banyumas, 27 Januari 2004
[15] Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,  (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
[16] Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 118.
[17] Rachmad Djoko Pradopo, Ibid, hlm. 119.
[18] Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 314.
[19] Ibid.
[20] Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair, Op. Cit., hlm. 46
[21] Jabrohim, Op. Cit., hlm. 17.

1 komentar: