BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ahmad Tohari
merupakan sastrawan papan atas tingkat nasional dalam konstelasi
penulis/sastrawan humanis karena mampu mengangkat tema-tema kemanusiaan dengan
gagasan kuat yang mudah dipahami oleh pembaca dari segala lapisan masyarakat.
Pilihan Ahmad Tohari dalam mensosialisasikan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan
melalui novel diakui sebagai jalan terbaik yang bisa dilakukan ketimbang
menjadi sosok lain. Sebab kebebasan berekspresi seperti dalam memilih bahasa
pengungkapan melalui tulisan demikian tidak terbatas. Itulah sebabnya novel
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera
Bianglala, dan karya “fiksi” lainnya banyak diminati kalangan
penikmat sastra.
Karya sastra adalah
barang buatan manusia yang mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada manusia
lain melalui kata-kata. Sesuatu tersebut berupa pikiran, harapan, perasaan, dan
gagasan yang muncul setelah mengalami, merasakan, melihat dan mendengarkan
kejadian. Manusia menyediakan sesuatu persoalan yang oleh sastrawan ditampilkan
dalam karya sastra. Oleh karena itu apa yang dituliskan dalam karya sastra
merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari.
Menurut Sapardi
Djoko Damono sebagaimana dikutip Diyah Widyawati[1],
karya sastra menampilkan gambaran kehidupan. Kehidupan itu sendiri menyangkut
hubungan masyarakat, antara seseorang dengan seseorang, dan antara peristiwa
yang terjadi dalam batin pengarang. Karya sastra dengan masyarakat mempunyai
hubungan yang erat. Dan keberadaan sebuah masyarakat merupakan sumber inspirasi
bagi pengarang untuk menulis karya-karyanya.
Pengarang adalah
seniman yang kreatif yang melahirkan karya sastra, selain sebagai pembaca
kreatif yang menghasilkan pengungkapan pribadi (personal) yang berkaitan dengan
katarsis atau kesenangan juga dengan sadar dan sengaja memberikan
pertimbangan-pertimbangan dan evaluasi tertentu. Untuk dapat menghasilkan
sebuah karya sastra, pengarang harus memiliki modal, bahan, alat, dan kekuatan
tertentu yang khas dari dalam dirinya. Alam, hidup, benda-benda, peristiwa
kehidupan, dan keadaan sekelilingnya merupakan bahan dan modal dasar bagi
sastrawan. Seperti halnya Ahmad Tohari, ia sangat memanfaatkan modal yang ada
tersebut.
Ahmad Tohari adalah
orang Jawa yang dilahirkan di Jawa. Sebagai masyarakat Jawa ia memahami siapa
orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan
hidupnya, terutama sekali tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Didukung oleh
sikap kritis dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Ahmad Tohari
berhasil menyusun konsep kepengarangannya yang boleh dikatakan khas.[2]
Gambaran kehidupan
yang disuguhkan Ahmad Tohari dalam karya-karyanya adalah kehidupan masyarakat
pedesaan dan kehidupan masyarakat miskin, wong cilik (lapisan bawah),
yang lugu dan sederhana jauh dari kehidupan kota. Hubungan masyarakat yang
wajar, harmonis, dan tenteram, masyarakat dengan lingkungan yang ada merupakan
pusat perhatian di dalam karya-karyanya. Ia sebagai anggota masyarakat merasa
terlibat dan ingin mengungkapkan derita, persoalan dilema masyarakat pedesaan.
Dalam mengekspresikan terhadap objek dan lingkungan, Ahmad Tohari benar-benar
sudah mengenal, mengetahui dan menghayati.[3]
Lebih dari itu,
kenyataan bahwa Ahmad Tohari demikian kental dan intensif mengangkat tema-tema
humanisme sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat kecil adalah
bagian dari sebuah perjuangan yang mengharuskan dirinya bertindak karena dekat
dengan masyarakat pinggiran. Ia hidup di tengah masyarakat yang selama ini
terabaikan oleh pembangunan dan selalu menjadi korban ulah dari kaum berduit,
seperti nasib penyadap nira (gula merah) yang memang ada di sekelilingnya,
sebagaimana tersurat dalam novel Bekisar Merah[4]
dan Belantik.[5]
Ahmad Tohari,
merupakan sosok kecil dan jauh dari bayangan figur seorang yang mempunyai
prestasi nasional, meskipun kenyataan ia telah menapaki tingkat internasional
--novel triloginya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Cara
berpakaiannya sederhana tidak beda dengan orang desa kebanyakan. Melihat
penampakannya, mengingatkan kita kepada seorang santri yang saleh, yang mempunyai
wawasan terbuka.
Pengalamannya luas.
Ia bisa menerima pandangan yang berbeda dari semua kalangan dan hidup
berdampingan secara damai dengan semua insan dari berbagai lapisan, tanpa
melihat asal-usul dan latar-belakangnya. Walau orang desa, Ahmad Tohari tidak
gagap menatap kehidupan kota, melainkan dia mampu mengkompromikan kehidupan
kota dan desa yang terkadang berbenturan. Kehidupan desa yang menekankan hidup
bergandengan dan sederhana tidak dipertengkarkan dengan kehidupan kota yang
lebih menonjolkan kemewahan dan individualitas.[6]
Karya-karya Tohari
yang menyimpan gagasan kemanusiaan dalam perspektif orang desa adalah kekayaan
khazanah intelektual bangsa Indonesia yang bernilai bagi kemanusiaan itu
sendiri yang tidak dapat dinafikan begitu saja. Sehingga penelitian akan
pentingnya memahami gagasan humanisme manjadi kebutuhan tersendiri mengingat
kondisi bangsa Indonesia dewasa ini yang masih belajar menjadi menjadi manusia
adalah menjadi kebutuhan itu. Kiranya dapat dimaklumi oleh khalayak ketika
penulis memberanikan diri mengangkat tema ini berkaitan dengan upaya belajar
memahami nilai-nilai kemanusiaan khas masyarakat pedesaan agar dapat dijadikan
pedoman bagi yang berkepentingan, siapapun dia, dari mana asalnya, dan dalam
tingkatan/pangkat apapun.
Dunia pedesaan
adalah dunia jujur dan senantiasa mengutamakan keharmonisan dan keselarasan
hubungan dengan mahluk dan dunia sekitarnya. Demikian sedikitnya, kesan yang
timbul hampir semua karya-karya Ahmad Tohari. Tokoh sentralnya adalah warga
desa dari kalangan wong cilik. Ia seolah-olah mewakili teriakan rakyat
kecil yang miskin dimiskinkan, bodoh dibodohi, dan terbelakang. Mereka menerima
apa adanya segala sesuatu yang terjadi atas dirinya, semua kesenangan atau
kegembiraan yang dialaminya seolah-olah mutlak titah Yang Maha Pencipta.
Tokoh-tokoh dalam karya-karya selalu menunjukkan orang desa, seperti Karyamin,
Minem, Blokeng, Sutabawor, Rasus, Eyang Mus, Lasi, Kanjat, Kenthus, Darsa, dan
lain-lain yang semuanya menunjukkan nama sikap pasrah terhadap perilaku alam
dan komunitas masyarakat yang menghimpitnya.[7]
Sebab apa yang
menjadi keprihatinan Tohari adalah bahwa manusia berkecenderungan dengan sifat
hewaniyah. Ia mencoba melawan dengan gagasan humanisme lewat karya sastra agar
kecenderungan itu tidak semakin parah sehingga antar manusia dapat saling
memahami perbedaan, yang kaya memahami yang miskin, dan sebaliknya. Berlawanan
dengan pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk tidak berharga, yang
hidupnya menjadi bulan-bulanan nasib dan tidak mampu menyelesaikan tugas
hidupnya tanpa bantuan kekuatan lain, maka ada pandangan yang menekankan
martabat manusia dan kemampuannya untuk ditonjolkan.
Menurut pandangan
itu manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan
kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri dan mencapai kepenuhan eksistensinya
menjadi manusia paripurna. Pandangan itu adalah pandangan humanistis, atau
humanisme. Humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar
kata homo yang berarti ‘manusia’. Humanus berarti ‘bersifat manusiawi’,
‘sesuai dengan kodrat manusia’.[8]
Semula humanisme
merupakan sebuah gerakan yang tujuan dan kesibukannya adalah mempromosikan
harkat, martabat, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai aliran pemikiran etis
yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan
harkat, peranan, dan tanggungjawab manusia. Menurut humanisme, manusia adalah
mahluk yang mempunyai kedudukan istimewa dan berkemampuan lebih dari
mahluk-mahluk lain di dunia karena bersifat rohani.[9]
Oleh sifatnya yang
rohani, manusia merupakan mahluk yang lebih tinggi daripada ciptaan yang
sekedar sensitif, seperti binatang, yang vegetatif, seperti tumbuh-tumbuhan,
atau yang sekedar materiil, seperti benda-benda mati. Karena sifatnya yang
rohani, manusia mempunyai daya-daya rohani seperti cipta, karsa, dan rasa, yang
tidak ada pada mahluk-mahluk di bawahnya. Sifat dan kemampuan rohani itu
membawa konsekuensi. Manusia mampu berbuat dan harus bertanggungjawab atas
hidup dan tindakannya sendiri.
Dalam etika, hal
itu berarti bahwa dengan pemikiran sendiri manusia mampu menetapkan mana yang
benar dan mana salah, mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang berguna dan
mana yang tidak berguna. Dengan kemampuan sendiri, manusia mampu
mempertanggungjawabkan perilaku dan hidupnya. Dengan penglihatan sendiri,
manusia mampu menetapkan arah dan tujuan hidupnya. Manusia tidak perlu wahyu
atau ilham, entah dari mana asalnya, untuk menemukan baik dan jahat.
Dalam bertindak,
dia tidak perlu berpikir tentang sanksi-sanksi dari siapa dan dari mana pun.
Dalam arah dan tujuannya, dia tidak perlu menerima arah dan tujuan yang
ditawarkan oleh otoritas lain seperti masyarakat atau agama. Dengan singkat,
dalam manusia beretika adalah ukuran dan kriteria untuk segala-galanya.
Berdasarkan hal itu manusia ditentukan arah dan tujuan hidup, kebaikan dan
kejahatan, jasa dan bukan jasa.[10]
Singkat cerita,
humanisme sebagai paham tentang manusia dan sebagai pemikiran etis telah
berjasa mengembalikan harkat dan martabat manusia, menyadarkan potensinya, dan
menandaskan tanggungjawabnya dalam kehidupan. Namun pandangan humanistis berat
sebelah, terlalu melihat segi positif manusia saja. Dengan pandangan berat
sebelah itu, tawarannya untuk menjadikan manusia sebagai ukuran dan kriteria segala-galanya
tidak dapat diterima. Agar kokoh, ukuran dan kriteria harus dicari di tempat
lain. Ukuran dan kriteria itu harus tetap, konsisten, stabil, kokoh, tidak
tergoyahkan. Karena itu, ukuran itu harus lebih tinggi dan ada di atas manusia.
Salah satu masalah
yang kita hadapi dalam usaha pembangunan bangsa kita dewasa ini adalah
pembinaan mental. Yang dimaksud dalam hal ini adalah usaha peningkatan
kesanggupan rohaniah untuk menghayati segala segi kehidupan dan tata nilai yang
berlaku dalam masyarakat dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup
sebesar-besarnya.
Menurut Umar Kayam
sebagaimana dikutip Jabrohim, salah satu jalan yang dapat dimanfaatkan untuk
melaksanakan pembinaan mental itu adalah penghayatan sastra. Sastra memberikan
pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan interpretasi serta
penilaian terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Kesenian –sastra
termasuk di dalamnya—dapat dipandang sebagai cara manusia untuk menata kembali
kehidupan lewat berbagai imaji dengan cara yang dirasakan paling mesra.[11]
Berangkat dari
uraian di atas, penulis mengajukan landasan pemikiran ini sebagai bahasan
skripsi dengan mengambil tema humanisme menurut Ahmad Tohari dengan tinjauan
filosofis berdasar karya sastra. Lain hal, berangkat dari ketertarikan dengan
humanisnya karya-karya Ahmad Tohari, penulis merasa perlu mengkaji lebih jauh
tentang gagasan humanismenya. Apalagi humanisme sebagai barang mewah dewasa ini
kiranya akan lebih berarti ketika orang lain mau menyerap untuk kemudian
dipertimbangkan bagi kehidupannya, khususnya bagi kehidupan penulis pribadi
agar dapat diterima secara lebih memadahi di kemudian hari.
B.
Pembatasan
dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang
masalah sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa studi pemikiran Ahmad
Tohari, terutama pandangan humanisme yang tertuang dalam karya sastra berwujud
novel Bekisar Merah dan Belantik merupakan kajian yang menarik
untuk ditelaah lebih jauh. Pemikiran humanisme tentang sulitnya berdiri tegak
yang sebenarnya merupakan kesatuan pemikiran yang tidak dapat dipisahkan dari
gagasan upaya memulihkan martabat kemanusiaan. Pemikiran-pemikiran Tohari yang
lain hanya akan disinggung sejauh mendukung alur pembahasan.
Penulis memilih
karya sastra sebagai objek kajian karena melalui karya sastra dapat
diperhatikan adanya social fait (hasil sosial). Titik tolak pemikirannya
bahwa kelompok sosial tertentu mempunyai pandangan tertentu pula tentang dunia
dan ia memiliki kekhususan cara melihat serta merasakan kenyataan dalam dunia
kehidupan. Apalagi sebuah karya yang ada merupakan hasil perenungan dan dapat
memberikan kesadaran seseorang dalam berkarya.
Pandangan tentang
dunia ini membentuk pandangan yang bersatu padu dengan keseluruhan realitas.
Pengarang memiliki keistimewaan dalam taraf kejelasan dan kedalaman tertentu
sehingga mereka mampu membahasakan pendangan dunia yang khusus. Hubungan antara
pengarang dengan pandangan dunia dalam karya sastra berintikan masalah sosial
dan bukan hanya sekadar riwayat hidup pribadi. Bagaimanapun atau seberapa
sederhana, novel merupakan suatu tekstualisasi ideologi atau pandangan dunia.
Kalau hal ini diabaikan berarti sama dengan menolak pandangan dunia yang
dimiliki pengarang.[12]
Oleh sebab itulah,
secara lebih rinci, skripsi ini akan mencoba menguraikan secara lebih detail
tentang gagasan atau pandangan dunia yang terkandung dalam dua novel itu dengan
mengangkat dan merumuskan persoalan sebagai berikut:
1.
Bagaimana Ahmad Tohari
mengemukakan konsep humanisme dalam karya sastra novel Bekisar Merah dan
Belantik?
2.
Bagaimana sikap Ahmad
Tohari dalam melihat realitas masyarakat pedesaan sebagai upaya mendakwahkan
nilai-nilai humanisme?
3.
Apa relevansi pandangan
humanisme Ahmad Tohari terhadap upaya bangsa Indonesia menempatkan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai bagian integral dalam membangun karakter bangsa?
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Dengan mengajukan
beberapa rumusan masalah sebagaimana di atas, kajian/penelitian ini berusaha
menelaah seta mengkaji secara filosofis atas pemikiran Ahmad Tohari tentang
humanisme. Dari situ diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang cukup mendalam
tentang pandangan humanisme Ahmad Tohari, dan bagaimana pandangan itu
memberikan kontribusi terhadap pengembangan studi-studi kefilsafatan serta
implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Diharapkan dengan
penelitian ini dapat memiliki nilai kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun
praksis.[13]
Secara teoritis, penelitian ini akan merupakan sumbangan yang cukup berharga
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama studi ilmu-ilmu sosial, khususnya
filsafat sosial. Secara praksis, sebagai sebuah landasan teoritis, penelitian
ini tentunya diharapkan mampu memberi sumbangan yang berharga, kaitannya dalam
upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis, terciptanya civil
society, yang dapat menghargai perbedaan serta terbuka terhadap kritik. Di
samping itu juga untuk menambah khazanah kepustakaan, khususnya tentang
pemikiran Ahmad Tohari dan umumnya terhadap studi ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, yang
tidak kalah pentingnya, bahwa penelitian ini juga memiliki kegunaan formal,
yakni untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan strata
satu (S1) di bidang Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
D.
Tinjauan
Pustaka
Yang dimaksud tinjauan
pustaka dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan murni dengan
mempertimbangkan kemanfaatan dan aktualitas tema yang penulis angkat, yakni
bertema humanisme. Alasan penulis mengacu pada kajian pustaka karena sejauh ini
belum ada penulis yang mengangkat tema humanisme berdasar novel-novel Ahmad
Tohari. Berikut ini penulis paparkan tiga buah karya yang membedah pemikiran
Ahmad Tohari berdasar novel-novelnya:
1.
Niniek Sulistyorini, Novel
Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dalam Tinjauan Strukturalisme Dinamik,
Surabaya: Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, 1995. Karya ini membedah novel
Ahmad Tohari berjudul Berkisar Merah dengan pendekatan strukturalisme
yang lebih mengedepankan aspek-aspek teknis mengungkapan cerita sebagai metode
penyusunan plot per plot agar mudah ditangkap pembaca. Skripsi ini tidak
mengulas kandungan isi tema dari novel tersebut.
2.
Diyah Widyawati, Tinjauan
Novel-Novel Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Ekspresif, Skripsi, Surakarta: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996. Karya
ini lebih banyak mengupas sisi-sisi ekspresif (cenderung memakai simbol-simbol
yang menyentuh perasaan pembaca) berkaitan dengan gaya pengungkapan cerita yang
disusun Ahmad Tohari. Diyah berupaya menjelaskan mengapa Ahmad Tohari cenderung
bergaya ekspresif, di mana menurutnya gaya Ahmad Tohari ini sebagai ciri khas
sebagai pengarang.
3.
Muhammad Fuad, “Rumah”
Ahmad Tohari dalam Kajian Historis-Ekspresif, Bandarlampung: Penerbit
Karyamedia, 2003. Karya yang telah diterbitkan sebagai buku ini mulanya
merupakan disertasi. Karya Muhammad Fuad ini dalam sejarah kepustakaan tentang
Ahmad Tohari termasuk yang paling komprehensif. Ia cukup detail menjelaskan
proses kreatif Ahmad Tohari berikut sejumlah kecenderungan yang dimiliki Ahmad
Tohari. Karya ini bukan hanya mengupas novel-novel Ahmad Tohari namun juga
mengupas sejumlah kolom-kolom penting yang telah dipublikasikan oleh media
massa regional dan nasional, termasuk sejumlah cerita pendek.
Tiga karya itu sengaja
penulis kemukakan di sini sebagai pertimbangan bahwa kajian pustaka dalam
skripsi ini menjadi penting karena belum ada yang mengupas tema humanisme.
Menurut Ahmad Tohari, sejauh ini karya-karyanya telah membuahkan tidak kurang
dari seratus skripsi, tesis, dan disertasi yang mengantarkan pembahasnya
memiliki gelar akademik. Namun ia menyatakan belum ada yang mengangkat tema
humanisme. Kebanyakan skripsi, tesis, dan disertasi mengkaji aspek sastra,
sementara aspek filosofisnya tidak disentuh. Makanya ketika penulis datang ke
rumahnya dan mengemukakan niat akan mengangkat tema humanisme berdasar novel Bekisar
Merah dan Belantik, Ahmad Tohari menunjukkan wajah yang cukup
gembira sembari mengatakan: “Nah, itu yang saya maksud. Mengapa baru
datang sekarang?”[14]
E.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini
besifat kepustakaan murni (library research), dalam arti bahwa data-data
yang mendukung kajian ini berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa
buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar dan sebagainya.
Di dalam
pengumpulan data-data tersebut, tentunya diupayakan data-data yang berkaitan
dengan fokus kajian, baik yang berupa data primer maupun skunder. Data primer
dalam hal ini adalah karya Ahmad Tohari, terutama Bekisar Merah dan
Belantik, dan karya-karya lainnya sejauh mendukung pokok bahasan, khususnya
kolom-kolom yang terkumpul dalam buku Mas Mantri Gugat dan Berhala
Kontemporer. Sedangkan data skunder adalah tulisan-tulisan penulis lain
yang membahas pemikiran Ahmad Tohari. Termasuk data skunder juga adalah kajian
yang membahas persoalan humanisme.
Dengan demikian,
maka pada dasarnya penelitian untuk skripsi ini menggunakan metode historis
faktual, yakni studi atas pemikiran tokoh, dalam hal ini pemikiran Ahmad Tohari
tentang humanisme. Sebagai sebuah studi pemikiran, maka objek tersebut akan
dikaji secara filosofis, termasuk menyinggung persoalan sosiologis, budaya atau
bahkan politik[15].
Oleh sebab
referensi utama yang dikaji adalah karya sastra novel, maka penulis dalam
penelitian ini akan menggunakan teori sastra dengan pendekatan semiotik. Penelitian
sastra dengan pendekatan semiotik sesungguhnya merupakan lanjutan dari
pendekatan strukturalisme yang tidak dapat dipisahkan dengan semiotik,
sebagaimana dikemukakan Umar Yunus dikutip Rachmat Djoko Pradopo. Alasannya,
bahwa karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa
memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur
karya sastra (atau karya sastra) tidak dapat dimengerti maknanya secara
optimal.[16]
‘Tanda-tanda’ dalam
konteks ini adalah ‘bahasa’ yang digunakan sastrawan Ahmad Tohari sebagai objek
penelitian yang akan dikaji. Sebab medium tanda berupa bahasa tulis itulah satu-satunya
yang dapat dijangkau sehingga akan ditemukan makna-makna sesuai yang diinginkan
sastrawan.
Di sinilah konteks
penggunaan metode pengupasan karya sastra dengan semiotika, yakni mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan pengkajian sastra,
penelitian semiotik meliputi analisa sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa
yang bergantung pada ditentukan konvensi-konvensi tambahan dan meneliti
ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana
mempunyai makna.[17]
Analisa sastra
dalam konteks ini adalah penggalian makna dalam bahasa tulis yang dipakai Ahmad
Tohari sebagai media pengungkapan gagasan. Sebagaimana dikatakan Levinas bahwa
‘bahasa adalah penyapaan’, di mana pada dasarnya adalah percakapan atau dialog
dan dalam dialog itu dimaksudkan menyapa antar sesama. Yang dibicarakan selalu
dilatarbelakangi oleh orang yang disapa.[18]
Menurut Levinas,
mengatakan sesuatu berarti menyapa seseorang. Tema dikuasai dan diarahkan oleh
orang yang disapa. Hakikat bahasa adalah interpretasi, penyapaan. Bahasa
mengadakan perdamaian sebelum menjadi sistem tanda untuk menyampaikan pikiran.
Bahasa berkaitan dengan etika sebelum berkaitan dengan teori.[19]
Dari hal itu maka
langkah-langkah metodis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Pertama, diskripsi.
Di sini penulis mencoba mendiskripsikan dan membahasakan pemikiran Ahmad Tohari
tentang humanisme secara lebih sistematis, ditinjau dari sudut analisa
filosofis. Dimulai dari pandangan Tohari tentang humanisme hingga sampai pada
pilihan menggunakan media sastra novel. Sehingga dari sini diharapkan mampu
memunculkan pemahaman baru.
Kedua, holistika.
Dengan metode ini penulis berusaha menyajikan pemikiran Ahmad Tohari secara
lebih komprehensif. Artinya akan dicoba digali unsur-unsur yang mempengaruhi
pemikirannya, baik lingkungan, latar belakang atau masyarakat di mana ia hidup.
Hal ini karena manusia hanya dapat dipahami dengan memahami seluruh
kenyataannya[20],
sehingga akan lebih adil dalam melihat sebuah pemikiran.
Ketiga, Interpretasi.
Dengan ini peneliti akan mencoba menyelami karya Ahmad Tohari tentang
humanisme, untuk kemudian dapat menangkap arti, nilai serta maksud yang
dikehendaki. Sehingga dapat dicapai pemahaman yang benar tentang pemikiran
Ahmad Tohari tersebut. Selanjutnya peneliti akan mencoba menafsirkan pemikiran
tersebut dan menarik relevansinya dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
Setelah melalui
beberapa langkah sebagaimana di atas, penulis akan berusaha melakukan analisis
kritis terhadap pemikiran Ahmad Tohari, kelebihan dan kelemahan serta
relevansinya untuk konteks saat ini. Sehingga dengan demikian akan diperoleh
pemahaman yang seimbang dalam kerangka teori yang dikategorikan sebagai
pemikiran humanisme. Untuk kebutuhan ini penulis menggunakan metodologi
Jabrohim dalam meneliti sastra religius Tahajjjud Cinta karya Emha Ainun
Najib.[21]
Jabrohim menyatakan, bahwa sastra mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan
untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan mencetuskan peristiwa
sosial tertentu.
Struktur karya
sastra pada dasarnya merupakan pendukung serta pelaksanaan makna karya sastra.
Karya sastra mempunyai dua makna, yakni makna niatan (amanat) dan makna muatan
(tema). Makna niatan adalah makna yang dikehendaki oleh penyairnya, sedangkan
makna muatan ialah makna yang ada dalam struktur karya sastra itu sendiri. Di
sinilah yang coba akan penulis gali sebagai upaya mengungkap gagasan humanisme
yang dicetuskan Ahmad Tohari melalui medium dua buah novel: Bekisar Merah dan
Belantik.
F.
Sistematika
Pembahasan
Bertolak dari
berbagai hal di atas, demi memudahkan pemahaman terhadap kajian ini, serta
memperoleh gambaran yang terarah dan sistematis, maka pembahasan dalam
penelitian ini akan disusun sebagai berikut:
Bab Pertama (I),
Pendahuluan, menguraikan argumentasi terhadap pentingnya kajian yang dilakukan.
Bagian ini mencakup latar belakang masalah, mengapa penulis mengangkat tema
ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab Kedua (II),
menguraikan sosok Ahmad Tohari, yang meliputi riwayat hidup, karya-karyanya,
dan lingkungan sosial yang melatarbelakangi. Dijelaskan bahwa Ahmad Tohari
mempunyai pengalaman khas dan proses kreatif yang lain dari sastrawan lainnya.
Mengapa demikian? Silakan baca bab kedua ini.
Selanjutnya Bab
Ketiga (III) berisi landasan teoritik untuk membedah pandangan humanisme Ahmad
Tohari. Dalam bab ini dijelaskan konsep-konsep humanisme yang berkembang di
dunia, serta tidak ketinggalan akan penulis uraikan pula humanisme dalam
perspektif Islam maupun “non-Islam”.
Sementara itu, Bab
Keempat (IV) merupakan pembahasan pokok dari penelitian ini. Dalam bab ini akan
dijelaskan tentang pandangan humanisme yang digagas Ahmad Tohari dalam novel Bekisar
Merah dan Belantik. Penjelasan meliputi kata-kata langsung maupun
istilah-istilah yang mengandung makna tersembunyi. Akhirnya Pembahasan ini
diakhiri dengan Bab Kelima (V), yang merupakan penutup dan kesimpulan.
[1] Diyah Widyawati, Tinjauan
Novel-Novel Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Ekspresif, Skripsi (Surakarta:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta,
1996), hlm. 3.
[2] Ibid, hlm. 1-2. Tentang sifat kepengarangan Ahmad Tohari yang
khas ini, lebih detail diterangkan dalam Bab II perihal latar belakang Ahmad
Tohari dan karya-karyanya.
[3] Ibid.
[4] Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan I Mei
1993. Novel ini pernah dipublikasikan secara bersambung di harian Kompas
pada Februari-Mei 1993.
[5] Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan
Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, Jakarta, Cetakan I November 2001. Novel
ini merupakan sambungan dari Bekisar Merah sehingga disebut Belantik
(Bekisar Merah II).
[6] Edi Hidayat, Kang Tohari: Berangkat dari Kesalehan, Jurnal Taswirul
Afkar, No. 14 Tahun 2003, hlm. 178.
[7] Diyah Widyawati, Op. Cit., hlm. 23.
[8] A. Mangunhardjana, Isme-Isme dari A sampai Z, (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 93.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 94.
[11] Jabrohim, Tahajjud Cinta Emha Ainun Najib: Sebuah Kajian Sosiologi
Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1.
[12] Akhmad Toibin, Kajian Strukturalisme Genetik Novel Jantera Bianglala
karya Ahmad Tohari, Skripsi (Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta,
1990), hlm. 51.
[13] Sebagaimana dijelaskan oleh Woodhouse, bahwa sebuah penjelasan ilmiah,
terutama dalam penelitian filsafat, itu mempunyai dua tujuan spesifik
sekaligus, yaitu praksis dan teoritis. Lihat Mark B. Woodhouse, Berfilsafat:
Sebuah Langkah Awal, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 37.
[14] Wawancara dengan
Ahmad Tohari, Banyumas, 27 Januari 2004
[15] Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1990), hlm. 61.
[16] Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 118.
[17] Rachmad Djoko Pradopo, Ibid, hlm. 119.
[18] Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 314.
[19] Ibid.
[20] Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair, Op. Cit., hlm. 46
[21] Jabrohim, Op. Cit., hlm. 17.
gak lengkap
BalasHapus